MAKALAH TEORI SEJARAH DAN SASTRA JUDUL PERIODE 1945-1953

MAKALAH

UNUK MEMENUHI TUGAS MATAKULIAH TEORI DAN SEJARAH SATRA

DOSEN HENDRI HENDRIYAN GADRI. M.Pd




DISUSUN OLEH KELOMPOK 5 :
·        HERTIANA RAHMAWATI
·        JULIA
·        NIDA
·        NANDAR KURNIAWAN
·        AHMAD YOSEP
·        SUMYATI
·        NURASIAH
FKIP PENDIDIKAN BAHASA SASTRA DAN DAERAH
UNIVERSITAS MATHLA’ULANWAR BANTEN
 
DAFTAR ISI
1.     Cover
2.     Daftar Isi
3.     Kata pengantar
4.     Bab. I Pendahuluan
5.     Bab. II Pembahasan
6.     Bab. III Penutup
7.     Daftar Pustaka
KATA PENGANTAR


      Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah TEORI DAN SEJARAH SASTRA PERIOD 1945-1953 dan PERIOD 1953-1961.
Makalah ini telah kami buat dengan semaksimal mungkin dan mendapatkan bantuan dari berbagai sumber sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini.
                      Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ini.
   
                      Akhir kata kami berharap semoga makalah ini bermanfaat untuk kita semua Amiiiiiin.
   
                                                                                               

                                                                                                Cikaliung, 25 Oktober 2016


   
                                                                                                Penyusun
Bab I Pendahuluan

1.     Latar Belakang
Dalam panggung sejarah sastra indonesia memberikan sesuatu yang baru. Setelah Chairil Anwar meninggal dunia, lingkungan kebudayaan ‘Gelanggang seniman merdeka’ seakan-akan kehilangan vitalitas. Salah satu alasan utama yg dikemukakan oleh mereka yang menuduh ada krisis sastra indonesia ialah karena kurangnya jumlah buku yang terbit.
2.     Rumusan Masalah
1.     Apa itu Angktan ‘45
2.     Apa  dan ciri-cirinya ?
3.      Apa asal usul Mite ?
4.     Siapa saja pengarang dalam Period 1953-1961 dan karya-karyanya ?
3.     Tujuan
Menggali dan memperdalam wasan dan untuk persentasi
4.     Manfaat
Untuk menambah wawasan.
Bab. II Pembahasan
PERIOD 1945-1953
1.     Angkatan ‘45
Munculnya Chair Anwar dalam panggung sejarah sastra Indonesia memberikan sesuatu yang baru sajaknya tidak seperti sajak-sajak Amir Hamzah yang betapa pun masih mengigatkan kita kepada sastra melayu, meskipun sajak-sajak amir itu memang indah dan bernilai tinggi. Karna itulah ada orang berpendapat bahwa baru dengan sajak-sajak Ahairil Anwarlah sebenarnya sastra indonsia lahir, sedangkan karya-karya Amir Hamzah, sanusi, pane, takdir alisjabhana dan lain-lainnya di anggap sebagai hasil sastramelayu saja. Pendapat ini tidak biasa di terima, karen Chairil Anwar sengguhnya merupakan buah dari pohon yang di tanam dan di pupuk oleh pendahulunya.
Padamulanya angkatan ini di sebut dengan berbagai nama: ada yang menyebutnya angkatan sesudah perang, ada yang menamakannya angkatan Chairil Anwar angkatan kemerdekaan dan lain-lain. Baru pada tahun 1948, Rosihan Anwar menyebut angkatan ini dengan nama Angkatan ’45. Nama ini menjadi popular dan di pergunakan oleh semua pihak sebagai nama resmi tetapi sementara itu meskipun namanya sudah di peroleh, sendi-sendi dan landasan-landasan ideal angkatan ini belum lagi di rumuskan. Surat kepercayaan itu ialah semacam pernyataan sikap yang menjadi dasar pegangan perkumpulan yang bermana’ gelanggang seniman merdeka dalam perkumpulan ini, kecuali para penggarang, juga berkumpul para pelukis, mukis dans eniman-seniman lain seperti Baharuddin M.S. (pelukis), Mochtar Apin (pelukis), Henk Ngantung (pelukis), Basuki Resobowo ( pelukis), Pramoedya ananta Toer, Asru lSani, Sitor situmorang, Riviai Apin dan lain-lain
            Perkumpulan ini di dirikan pada tahun 1947. Jadi pada masa Chairil Anwar masih hidup, sebagai media tempat para seniman ‘Gelanggang Seniman Merdeka’ ini bergerak, dalam warta sepekan siasat yang di pimpin oleh Rosihan Anwar di buka sebuah ruangan kebudayaan yang di beri nama Gelanggang yang semmula di pimpin oleh Chairil Anwar, Asrul Sani dan Rivai Apin.
            Meskipun tidak ada hubungan organisatoris antara Angkatan ’45 (yang memang bukan merupakan organisasi) dengan perkumpulan ‘Gelanggang Seniman Merdeka’, tetapi hingga sekarang biasanya orang berpaling kepada ‘Surat Kepercayaan’ tersebut kalau hendak merumuskan konsepsi Angkatan ’45 tentang hidup dan seni . Mungkin karena dalam ‘Gelanggang Seniman  Merdeka’  itu berkumpul tokoh-tokoh satra dan seniman lainnya yang kemudian di kenal sebagai  tokoh-tokoh Angkatan ’45.
            Sebegitu banyak orang memprokamasikan kelahiran dan membela hak hidup angkatan ’45, sebanyak itu pulalah yang menentangnya . Armijn Pane berpendapat bahwa angkatan ’45 hanyalah lanjutan belaka dari apa yang sudah di rintis oleh angkatan selannjutnya, yaitu angkatan Pujangga Baru. Juga Sutan Takdir berpendapat Alisjabhana berpendapat demikian.
            H. B. Jassin, Sitor Situmorang, Rosihan Anwar, Aoh K. Hadinadja dan lain-lain gigih pula membela hak hidup angkatan ini, mengatakan dengan yakin bahwa para pengarang yang muda-muda itu tak bisa lagi di golongkan kepada Angkatan Pujangga Baru. Sementara itu pengarang yang berhaluan kiri dengan hebat pula menyerang Angkatan ’45 dengan semboyan yang di lontarkan oleh A.S. Dharta bahwa “Angkatan ’45 sudah mampus !”
            Pada tahun 1952 H.B. Jassin mengumumkan sebuah esai berjudul ‘Angkatan yang merupakan pembelaan terhadap kelahiran dan hak hidup Angkatan ’45. Jassin mengatakan bahwa bukan hanya dalam gaya saja perbedaan antara Angkatan ’45 ini memang para pengarang Pujangga Baru, melainkan juga dalam visi (pandangan). Esai itu kemudian diterbitkan dalam kumpulan karangan Jassin  yang berjudul kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esay (1954)
2.     Ciri-cirin Angkatan ‘45
1.     Terbuka
2.     Pengaruh unsur sastra asing lebih luas dibandingkan angkatan sebelumnya
3.     Isi realis dan naturalis
4.     Sastrawan Angkatan ’45 terlihat individualisme
5.     Dinamis dan kritis dan berani menggebrak angkatan sebelumnya
6.     Lebih ekspresif dan spontan.
3.     Beberapa tokoh
1.     CHAIRIL ANWAR
2.     ASRUL SANI dan RIVAI APIN
3.     IDRUS
4.     ACHDIAT K. MIHARDJA
5.     PRAMOEDYA ANANTA TOER
6.     MOCHTAR LUBIS
7.     UTUY TATANG SONTANI
8.     SITOR SITUMORANG AOH K. HADIMADJA
9.     M. BALFAS dan RUSMAN SUTIASUMARGA
10.                        TRISNO SUMARDJO
11.                         MH. RUSTANDI KARTAKUSUMA dan lain-lain.

PERIOD 1953-1961
1.    Krisis sastra Indonesia
Setelah Chairil Anwar meninggal dunia, lingkungn kebudayaan ‘Gelanggang Seniman Merdeka’ seakan-akan kehilangan vitalitas. Asrul Sani yang beberapa lamanya asyik menulis esay, sudah jarang sekali menulis sajak atau hasil sastranya.Demikian pula Rivai Apin. Padahal kedua orang itu tadinya di anggap sebagai tumpuan harap yang akan melanjutkan kepeloporan Chairil.
      Pada bulan april 1952 di Jakarta di selenggarakan sebuah simposium tentang ‘kesulitan-kesulitan zaman peralihan sekarang‘. Dalam simposium yang di selenggarkan oleh golonggan-golongan kebudayaan Gelanggang , Lekra, Liga komponis, PEN-Club Indonesia dan Pudjangga Baru itu telah di bahas kesulitan-kesulitan jamanperalihan. Ditinjau dari sudut sosiologi, psikologi dan ekonomi. Diantara parapembaca ialah St. Sjahril, Moh Said. Mr. Sjafruddin Prawiranegara, Prof. Dr. Slamet Iman Sentoso, Dr. j. Ismael Sutan Takdir Alisjahbana, Boejoeng Soleh dll.
Dalam esainya itu Soedjatmoko melihat adanya krisis sastra sebagai akibat  dari krisis kepempinan politik ia lebih lanjut mengatakan bahwa sastra Indonesia sedang mengalami krisis karena yang di tulis hanya cerpen-cerpen kecil ‘ berlingkar sekitar psikologis perseorangan semata-mata ‘. Karangan Soedjatmoko ini mendapat reaksi hebat terutama dari kalangan sastrawan sendiri.
      Nugroho Notosusanto, S. M. Ardan, Boejoeng Saleh dan lain-lain. Secara tandas disertai dengan bukti-bukti  yang sukar untuk di bantah, menolak penamaan “krisis sastra”. Menurut mereka sastra Indonesia sedang hidup dengan subur. H. B. Jassin dalam simposium satra yang di selenggarakan oleh fakultas sastra universitas Indonesia di jakartra padabulan Desember 1954, mengemukakan prasaran yang dengan tandas di berinya judul : ‘kesusastraan Indonesia modern tidak ada krisis’. Dengan bukti-bukti dari dokumentasinya yang lengkap, Jassin pun menolak sebutan adanya krisis maupun impasse dalam kehidupan sastra Indonesia.
      Dalam tulisan berjudul ‘situasi 1954’ yang di tujukan kepada sahabatnya Ramadhan K.H yang ketika itu baru pulang dari Spanyol Nugroho Notosusanto mencoba mencari latar belakang timbulnya penamaan “impasse satra Indonesia” yang bagi dia tak lebih dari hanya sebuah “mite (dongengan) belaka. Menurut Nugroho asal usul timbulnya “mite” itu ialah pesimisme yang berjangkit di kalangan orang-orang tertentu pada masa sesudah pengakuan kedaulatan. Pesisimisme itu berjangkit di kalangan mereka yang pada jaman federal hidup lebih enak dan mereka yang pada masa revolusi punya impin-impian yang muluk indah tentang jaman sesudah pernang kemedekaan kecuali itu Nugroho pun melihat kemungkinan bahwa golongan “old craks” angkatan ’45 yang pada sekitar tahun 1945 mengalami jaman keemasan, pada masa sesudah tahun 1950 mengalami kemunduran lalu mereka berpegang pada jaman keemasan yang sudah lampau sambil mengejek-ejekan jaman sekarang di mana muncul banyak tokoh-tokoh baru.
      Sitor Situmorang dalam sebuah tulisannya yang berjudul “krisis HB. Jassin”  dalam majalah mimbar Indonesia (1955) mengemukakan pendapatnya yang ada bukanlah krisis satra, melainkan ukuran menilai satra. Dan karena ketika itu sebagai kritikus yang terkemuka bahkan satu-satunya pula ialah HB.Jassin, maka Sitor berkesimpulan bahwa krisis yang terjadi ialah krisis dalam diri Jassin sendiri karena ukurannya tidak matang. 

2.    Sastra Majalah
Sastra majalah salah satu alasan utama yang di kemukakan oleh mereka yang menuduh ada krisis sastra indoesia ialah karena kurangnya jumlah buku yang terbit. Roman-roman karangan Pramoedya Ananta Toer yang dalam tahun-tahun 1950-1951-1952-1953 selalu muncul dengan judul-judul baru, tebal-tebal pula, di erakan oleh para penuduh itu dengan alasan bahwa roman-roman itu di tulis Pram dalam penjara, jadi sebelum tahun 1950. Maka aktifitas sastra terutama hanya dalam majalah-majalah saja seperti Gelanggang / Siasat, Mimbar Indonesia, Zenith, Pujangga Baru dan lain-lain. Karena sifat majalah maka karangan-karangan yang mendapat tempat terutama yang berupa sajak, cerpen dan karangan-karangan lain yang tidak begitu panjang sesuai dengan yang di butuhkan oleh majalah-majalah, maka tak aneh kalau parapenggarang pun lantas hanya mengarang cerpen, sejak dan karangan-karangan lain yang pendek-pendek
Dalam seminar kesusastraan yang di selenggarkan oleh fakultas sastra universitas Indonesia tahun 1963 Nugroho Notosusanto dalam ceramahnya yang berjudul ‘soal periodisasi dalam sastra indonesia’, mengemukakan bahwa memang ada periode baru sesudah tahun ‘ 50 yang tidak lagi bisa di masukan kedalam periode sebelumnya Nugroho menekankan pada kenyataan bahwa para penggarang yang aktif mulai menulis pada periode 1950 ialah mereka yang telah mempunyai ‘sebuah tradisi Indonesia sebagai titik-tolak’. Sifat imitatif dari Belanda atau Eropa berkurang.
Di bandingkan dengan para pengarang Angkatan ’45 para penggarang yang lebih muda-muda itu menghadapi kenyataan-kenyataan yang tidak menggutungkan kehadirannya meskipun mereka mendapat tempat di halama-halaman majalah yang ada pada ketika itu tetapi kebanyakan majalah-majalah itu, bahkan semua majalah itu redaksinya di pegang oleh para penggarang yang tergolong kepada Angkatan’ 45
   


3.    Beberapa Pengarang Majalah dan Karyanya

1.     NUGROOHO NOTOSUSANTO karyanya “jembatan”
2.     A. A. NAPIS karyanya “hujan pans”
3.     TRISNO YUWONO karyanya “revolusi”
4.     IWAN SIMATUPANG karyanya ”bulan bujur sangkar”
5.     TOHA MOHTAR karyanya yang berjudul “bukan karena tahun (1968) dan kabut rendah (1968)
6.     SUBAGIO SASTROWARDOJO  karyanya yang berjudul “kejantanan sisumbing cerpen perawan tua”
Bab. III PENUTUP
Kesimpulan
Jassin mengatakan bahwa bukan hanya dalam gaya saja perbedaan antara angkatan  ’45 ini dengan para pengarang Pujangga Baru, melainkan juga dalam visi. Adanya campur tngan pihak asing.
Sitor situ morang berkesimpulan bahwa krisis yang terjadi ialah krisis dalamdiri jassin sendiri karena ukurannya tidak matang.
DAFTAR PUSTAKA

Dikutip dari buku ikhtisar dan sejarah satra indonesia

0 komentar:

Posting Komentar