CERITA RAKYAT
UNTUK MEMENUHI TUGAS TEORI DAN SEJARAH SASTRA
JUDUL CERITA RAKYAT CIBALIUNG
”NYI JOMPONG”
PENYUSUN :
NANDAR KURNIAWAN
FKIP BAHASA SASTRA INDONESIA DAN DAERAH
UNIVERSITAS MATHLA’UL ANWAR BANTEN
2016
CERITA RAKYAT CIBALIUNG
“NYI JOMPONG”
Alkisah, pada jaman Kolonial Belanda di sebuah
perkampungan tedapatlah seorang gadis yang sangat cantik jelita anak tunggal
dari keluarga petani yang hidup masih dalam kekurangan. Nyi Jompong, begitulah
nama gadis desa yang kecantikannya dikenal oleh setiap pemuda, dia tidak pernah
peduli dengan kecantikan wajahnya dan dengan sanjungan-sanjungan para pemuda.
Hari itu mentari menampakan keindahannya yang menyelinap diantara rimbunnya
pepohonan, seperti Nyi Jompong pagi itu. Dia mandi dan mencuci pakaian di sebuah
mata air di pinggir desa bersama para gadis-gadis desa yang sebenarnya merasa
iri dengan kecantikan Nyi Jompong. Apalagi pagi itu sinar mentari seakan
mengerti dengan kecantikannya. Kain bermotif batik yang dikenakannya, dengan
senyuman yang khas membuat setiap pemuda yang melihatnya terpukau. Mentari
mulai meninggi, Nyi Jompong dan para gadis desa lainnya mulai kembali ke
rumahnya masing–masing.
“Nyai, nyai…!” terdengar ayah Nyi Jompong memanggilnya yang baru saja
selesai menjemur pakaian.“Kah! Aya priogi naon pak?” Nyi Jompong menemui ayahnya yang pada saat itu sedang asyik menghisap udud/rokok .
“Nyi, dinten ieu nyai teu keudah ka sawah!” Perintah ayahnya.
Nyi Jompong tampak kebingungan karena biasanya dia
setiap hari selalu ikut membantu ayah dan ibunya di sawah meyiapkan makan
siang, “bapak aya naon, nyai teu keudah ngiring ka sawah?”
Dengan begitu tenang bapaknya menjawab, “Jadi nyai
dinteun ieu nutu pare wae!” Nyi jompong tahu jika persediaan beras mulai habis,
Nyi Jompong hanya menjawabnya dengan isyarat anggukan diiringi dengan senyuman
dan kemudian dibalas pula dengan senyuman ibunya yang dari tadi terdiam
mendengarkan percakapan mereka.
Berangkatlah kedua orang tuanya meninggalkan rumah
menuju sawah yang lumayan jauh. Sedangkan Nyi Jompong mulai mempersiapkan
pekerjaannya, lesung yang panjang dengan padi yang terlihat kuning mengkilap
mulai dia tumbuk dengan irama sebuah nyanyian cingcangkeuling dengan begitu
merdu mendayu-dayu, menerbangkan angan menuju nirwana. Saat asyik menumbuk padi
terlihatlah seorang pemuda dengan langkah yang begitu pasti dengan tubuhnya
yang kekar menuju rumah Nyi Jompong, tapi Nyi Jompong berpura-pura tidak
menyadari akan kedatangan pemuda itu. Dia terus saja menumbuk padi.
“Nyai anjeun parantos ngajadikeun hati kaula teu
tangtu.” Celoteh pemuda yang bernama Ciriwis itu. Nyi jompong terus saja
melanjutkan pekerjaannya tanpa pernah menghiraukan apa yang sedang dibicarakan
Ciriwis. Dia tahu Ciriwis adalah pemuda yang telah beberapa kali ditolak
lamarannya dan beberapa kali pula berkelahi dengan para pemuda lainnya dan
tidak pernah terkalahkan sehingga tidak ada yang berani melarangnya menemui Nyi
Jompong.
Seperti sebuah kebiasaan para pemuda di kampung ketika berkunjung ke rumah seorang gadis, dia akan memainkan seruling di hadapan gadis yang diinginkannya. Begitu juga dengan Ciriwis yang pantang menyerah untuk menarik hati Nyi Jompong sang bunga desa yang cantik jelita.
Seperti sebuah kebiasaan para pemuda di kampung ketika berkunjung ke rumah seorang gadis, dia akan memainkan seruling di hadapan gadis yang diinginkannya. Begitu juga dengan Ciriwis yang pantang menyerah untuk menarik hati Nyi Jompong sang bunga desa yang cantik jelita.
Pengorbanan Ciriwis yang mempertaruhkan jiwanya
untuk mendapatkan Nyi Jompong dengan mengalahkan semua saingannya justru
menjadi bumerang. Karena Nyi Jompong tidak ingin dijadikan sebagai sebuah
taruhan para pemuda kampung. Dan dia belum pernah berfikir untuk mempunyai
seorang pendamping.
Alunan seruling Ciriwis yang merdu terhenti oleh
suara tongtong. Suara itu mengisyaratkan bahwa hari itu adalah hari dimana para
penduduk kampung harus menyerahkan upeti kepada pemerintahan Belanda yang
berupa hasil bumi.
Para serdadu Belanda memasuki setiap rumah untuk mengambil upeti bahkan mereka tidak segan-segan membawa dan menjamahi para gadis. Terdengar teriakan para gadis yang diperlakukan tidak senonoh oleh para serdadu Belanda.
Para serdadu Belanda memasuki setiap rumah untuk mengambil upeti bahkan mereka tidak segan-segan membawa dan menjamahi para gadis. Terdengar teriakan para gadis yang diperlakukan tidak senonoh oleh para serdadu Belanda.
“Ampun tuan… ampun!” Para gadis menangis dan
memohon ampun, tapi apalah daya para serdadu yang memang sudah lama
meninggalkan istri-istrinya di negeri mereka, sehingga sudah lama tidak
memenuhi kebutuhan biologisnya.
Nyi Jompong tampak ketakutan, dia masuk kedalam
rumah meninggalkan pekerjaannya kemudian menutup pintu, tapi para serdadu
Belanda terlanjur terpesona dengan kecantikan Nyi Jompong.
“Hai Nyai… Cepatlah keluar dan kita bercinta!”
Teriak salah satu serdadu Belanda sambil memukul-mukul pintu rumah Nyi Jompong.
Ciriwis yang saat itu berdiri lantas berteriak, ”Hai kau penjilat sialan!”
Serdadu itu menoleh dan meludah di hadapan Ciriwis,
“Oh kau mau jadi pahlawan rupanya!” ujarnya sambil tertawa.Tapi pukulan keras
Ciriwis terlanjur mengenai muka serdadu Belanda tersebut sehingga ia tersungkur
tak berdaya. Ciriwis bertolak pinggang dan bergumam, “Kau berani-beraninya
menggangu bunga desa yang akan menjadi istriku.”
Menyadari salah satu serdadunya ada yang terjatuh maka para prajurit itu mengeroyok Ciriwis, tetapi sia-sialah yang mereka lakukan karena mereka terlalu lemah untuk melawan Ciriwis.
Menyadari salah satu serdadunya ada yang terjatuh maka para prajurit itu mengeroyok Ciriwis, tetapi sia-sialah yang mereka lakukan karena mereka terlalu lemah untuk melawan Ciriwis.
“Sudahlah kalian pergi saja! Katakan pada atasan
kalian, jangan pernah bermimpi bisa mengalahkanku!” Ancam Ciriwis. Akhirnya
mereka pergi meninggalkan kampung tersebut.
Begitu genting keadaan kampung hari itu, sedangkan
Nyi Jompong tidak berani keluar rumah sampai kedua orang tuanya datang ketika mentari
tenggelam. Ibunya tahu putrinya sudah mengalami sesuatu karena terlihat dari
raut wajahnya yang ketakutan, “Nyai aya naon? Nyai katingali teu tenang.” Nyi
Jompong menundukan wajah. “Aya naon, nyai?” Ibunya bertanya kembali.
“Tadi aya tuan belanda ngacak-ngacak kampung.”
Jawab Nyi Jompong dengan terbata-bata.
Ayahnya terdiam dan hanya menarik nafas panjang, karena diapun telah menyadari ketika dia masuk kampung banyak para gadis yang menangis. Keluarga Nyi Jompong dan penduduk kampung dihantui rasa takut, hingga waktu malam terasa begitu lama.
Ayahnya terdiam dan hanya menarik nafas panjang, karena diapun telah menyadari ketika dia masuk kampung banyak para gadis yang menangis. Keluarga Nyi Jompong dan penduduk kampung dihantui rasa takut, hingga waktu malam terasa begitu lama.
Hingga akhirnya suara ayam terdengar di setiap
rumah penduduk, menandakan telah berakhirnya malam, mentari mulai merayu
membuai burung-burung di pepohonan untuk berkicau dan mendayu. Tersiarlah
sebuah warta seorang pemuda telah meninggal dengan lubang peluru di kepalanya.
Semua penduduk desa menyadari bahwa yang terbunuh
adalah Ciriwis, seorang pemuda yang kemarin mengalahkan semua serdadu Belanda.
Dan semua menyimpulkan bahwa yang melakukan pembunuhan itu adalah orang Belanda
karena hanya mereka yang memiliki senapan pada saat itu.
Selang beberapa waktu kemudian datanglah seorang
laki-laki berkuda dengan beberapa pengawalnya, yang tidak lain adalah tuan
besar Belanda. “Hai penduduk kampung aku tahu di sini ada seorang wanita yang
cantik jelita!” Tuan besar berkata tanpa turun dari kudanya.
Semua penduduk tidak ada yang menyahut, mereka
hanya melirik kepada Nyi Jompong yang saat itu berdiri dan merasa ketakutan.
“Kau, Nyai!” Tuan besar menunjuk kepada Nyi Jompong
sambil turun dari kuda dan beranjak menemui Nyi Jompong. Sedangkan Nyi Jompong
menunduk sambil memegang erat tangan ayahnya.
“Nyi, maukah nyai menjadi istriku?” Tuan besar
Belanda berkata dengan tegas.
Sementara Nyi Jompong makin ketakutan. ”Tuan besar, hapunteun permintaan tuan tidak dapat saya penuhi!” Tegas ayahnya yang dihantui ketakutan.
Sementara Nyi Jompong makin ketakutan. ”Tuan besar, hapunteun permintaan tuan tidak dapat saya penuhi!” Tegas ayahnya yang dihantui ketakutan.
Tuan besar menahan amarahnya dan masih coba
berkata, ”Nyai, jika nyai menjadi istri saya maka nyai akan hidup bahagia”.
Tapi Nyi Jompong tidak menjawab, rasa takut benar-benar
bersarang di jiwanya. “Baiklah, jika lamaran saya ditolak, saya terima itu!”
Tuan besar berkata sambil tersenyum sinis dan meninggalkan perkampungan.
Waktu siang tiba penduduk mulai sibuk kembali
dengan pekerjaanya, meskipun begitu mereka tetap membicarakan apa yang telah
terjadi tadi.
”Bapak sareng ibu dinteun ieu moal kasawah, nyai.” suara bapak Nyi Jompong
memberi tahu kepada putrinya.“Bu, pak, nyai bade kasawah bade ngala tutut (sejenis keong sawah)” tutur Nyi Jompong.
Sebuah kebiasaan Nyi jompong makan dengan tutut,
sejenis keong kecil berwarna hitam yang ada di sawah dan biasa dikonsumsi
penduduk desa yang tanpa mengengeluarkan biaya sedikitpun untuk mendapatkannya.
Kedua orang tuanya saling berpandangan sebelum akhirnya mengijinkannya berangkat
tanpa ada yang menemaninya.
Berangkatlah Nyi Jompong menuju sawah untuk
mengambil tutut, dia membawa boboko , haseupan , dan parang. Nyi Jompong
mengumpulkan banyak tutut dengan membersihkan terlebih dahulu bagian belakang
tutut tersebut, sebelum ia masukkan ke dalam boboko.
Karena hari telah mulai senja, Nyi Jompong beranjak
pulang dengan membawa barang-barangnya. Di tengah perjalanan dia putuskan untuk
mandi terlebih dahulu. Tanpa pernah ia sadari ada yang mengikutinya.
Kemudian Nyi Jompong menyadari ada yang
mengintainya, hingga akhirnya dia putuskan untuk cepat-cepat menyelesaikan
mandi dan bergegas pulang. Nalurinya benar, tiba-tiba terlihatlah seorang pria
berkuda dengan tali tambang yang besar dan dilengkapi dengan sebuah senapan.
Pria itu tidak lain adalah tuan besar Belanda.
Menyadari adanya bahaya besar, Nyi jompong berlari
dan terus dikejar oleh tuan sambil tertawa puas sehingga haseupan Nyi Jompong
jatuh. Dia semakin berlari kencang tanpa henti sehingga jatuhlah parang dan
bobokonya yang berisi tutut yang sudah tak berekor.
Akhirnya Nyi Jompong tersudut pada sebuah jurang
yang curam. Dia pun menjatuhkan diri ke jurang hingga tiga kali benturan yang
mengakibatkan Nyi Jompong tewas dengan bagian tubuhnya yang terpisah-pisah. Kematian
Nyi Jompong menjadi sebuah pelajaran bahwa seorang gadis haruslah menjaga
kehormatan dirinya dan kelurganya, karena kehormatan tidak bisa
diperjual-belikan. Lebih baik mati untuk mempertahankan kehormatan dari pada
hidup dalam kenistaan.
Peristiwa itu sekarang menjadi sebuah tempat yang
dikenal oleh penduduk sekitar. Haseupan Nyi Jompong yang jatuh, sekarang tempat
itu disebut orang Leuwi Haseupan. Parang yang terjatuh menjadi Leuwi Arit,
karena parang di daerah tersebut biasa disebut Arit. Kemudian Boboko yang
terjatuh beserta tututnya itu menjadi Leuwi Boboko dan diyakini jika di leuwi
Boboko itu ada tutut yang hidup tanpa ekor. Tempat Nyi Jompong menjatuhkan diri
tersebut kemudian disebut orang dengan Curug Nyi Jompong, curug dalam bahasa
Indonesia disebut air terjun. Salah satu bagian tubuh Nyi Jompong konon menjadi
batu yang hanya berbentuk alat reproduksinya yang mengeluarkan air. Bahkan
penduduk setempat ada yang mengatakan dulu setiap bulannya mengeluarkan darah
sebagai tanda menstruasi, kemudian karena sekarang sudah tua maka tidak lagi
menstruasi (monopause). Bukti lainnya di sekitar tempat itu terdapat tapak kuda
dan tapak tali panjang juga tapak senapan pada batu-batu di lokasi tersebut.
Dan sampai sekarang, nama Nyi Jompong dipakai sebagai nama gugus depan (Gudep)
pada SMAN 5 Pandeglang di Kecamatan Cibaliung.
Demikianlah dongeng Nyi Jompong masyarakat
Cibaliung, kabupaten Pandeglang. Semoga dapat dilestarikan dan diambil
hikmahnya.
0 komentar:
Posting Komentar