BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam kehidupan di dunia ini, manusia tidak bisa lepas dari yang dinamakan sejarah, karena segala sesuatu didalam dunia ini mengalami proses sejarah dalam perkembangannya. Begitu juga Dalam proses belajar mengenai sastra tulisan di Indonesia, sejarah mengenai periodisasi dalam kesusastraan tidak biasa dipisahkan atau ditinggalkan begitu saja karena sastra yang berkembang sekarang merupakan penambahan atau penyempurnaan dari kesusastraan yang telah lampau atau bisa dikatakan proses periodisasi merupakan proses pertumbuhan dalam sastra tulisan di Indonesia. Dalam hal ini sastra dipengaruhi oleh beberapa factor baik itu factor intrinsic (dari dalam diri pengrang ) maupun factor ektrinsik (dari luar diri pengarang).
Dan hal tersebutlah yang kemudian mempengaruhi atau membedakan karya sastra tilisan dari satu periode- ke periode lainnya.
B. Rumusan Masalah
Dalam sastra indonesia dikenal berbagai jenis genre sastra antara lain:
1. Sastra tulisan
2. Sastra lisan
Mengingat adanya keterbatasan dalam kemampuan penulis dan demi terarahnya penulisan makalah maka penulis membatasi permasalahan pada hal-hal:
1. Periodisasi dalam sastra tulisan di indonesia yang dimulau pada tahun 1900an sampai sekarang
2. Nama-nama pengarang pada periode 1900- sekarang beserta hasil karyanya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Sastra Di Indonesia
Kepulauan Nusantara yang terletak di antara dua benua dan di antara dua samudra, yaitu Benua Asia dan Australia serta di antara Samudra Hindia (yang sekrang disebut Samudra Indonesia) dan Lautan Teduh, dihuni oleh beratus-ratus suku bangsa yang masing-masing mempunyai sejrah, kebudayaan, adat-istiadat, dan bahasa sendiri-sendiri.
Abad yang silam di beberapa tempat di kepulauan Nusantara berdiri kerarajaan-kerajaan besar, seperti Majapahit dan Pajajaran (Jawa), Sriwijaya (Sumatra, serta Malaka dan Pasai (Semenanjung). Pada abad yang silam kerajaan-kerajaan itu memililki pengaruh yang cemerlang di seluruh kepulauan Nusantara, bahkan sampai daratan Asia.
Namun, pada abad ke-16 dan 17 kerajaan-kerajaan itu satu demi satu menjadi daerah jajahan bangsa Eropa yang pada mulanya datang untuk mencari rempah-rempah, seperti Portugis, Inggris, Spanyol, dan Belanda. Filipina jatuh ke tangan orang Spanyol. Semenanjung Malaka akhir abad ke-17 jatuh ke tangan orang Inggris. Sedangkan kepulauan yang kemudian menjadi wilayah Republik Indonesia jatuh pula ke tangan orang Belanjda. Beberapa kerajan yang masih berdaulat, setapak demi setapak ditaklukan orang Belanda. Dan pada awal abad ke-20 dengan berakhirnya Perang Aceh, seluruh kepulauan Nusantara semuanya menjadi daerah taklukan Kerajan Belanda.
Perbedaan bangsa yang menjajah menimbulkan perbedaan-perbedaan pula dalam pertumbuhan kebudyaan, cita-cita politik dan pola pikir suku-suku bangsa yang ada di wilayah Nusantara. Meskipun demikian, penduduk wilayah-wilayah yang terangkum dalam jajahan suatu bangsa penjajah merasakan nasib dan penderitaan yang sama, sehingga perhubungan antara penduduk daerah yang semula disebut "Nederlandsch Indie" (Hindia Belanda) semakin erat.
Persaan tak puas karena menjadi hamba di tanah air sendiri, menyebabkan timbulnya perlawanan berupa pemberontakan bersenjata di berbagai daerah. Memang mula-mula perlawanan-perlawanan itu bersifat sporadis, terpecah-pecah dan merupakan perlawanan suatu suku bangsa melawan orang asing. Namun saat itu yang dianggap orang "asing" itu bukan hanya kulit putih, meliankan juga semua suku bangsa lain yang berasall dari Nusanrtara juga. Hal itu memudahkan Belanda untuk mengadu domba dan politik devide et impera efektif sekali untuk melumpuhkan perlawanan orang bumi putra terhadap penjajahan Belanda.
Tapi, pada awal abad ke-20 mulailah para pemimpin dan pejuang kemerdekaan kita sadar akan kelemahan dirinya dan akan kekuatan lawannya. Maka berasal dari perasaan senasib sepenanggungan karena sama-sama hidup di bawah cengkraman penjajah yang satu, tumbuhlah kesadaran nasional. Api nsionalisme itu menghilangkan perbedaan-perbedaan yang disebabkan oleh karena perbedaan sejarah, lingkungan kebudyaan, bahasa, adat-istiadat, temperamen dan watak. Dalam menghadapi musuh bersama yang satu, yang diperhitungkan bukan perbedaan di antara suku-suku bangsa itu, melainkan persamaan-persamaannya. Kesadaran itulah yang kemudian pada tahun 1928 dirumuskan dalam sebuah sumpah bersama yang sekarang kita kenal sebagai Sumpah Pemuda, yang mengaku:
Kami putera dan puteri Indonesia mengaku bertumpah darah yang satu, Tanah Indonesia.
Kami putera dan puteri Indonesia, mengaku berbangsa yang satu, Bangsa Indonesia.
Kami putera dan puteri Indoesia menjunjung bahasa persatuan, Bahasa Indonesia.
Kalau dicermati, tampak dengan jelas yang dimaksudkan dengan "Indonesia" oleh sumpah itu melingkupi seruluh wilayah yang pada masa itu dikenal sebagai Nederlandsch Indie, yaitu wilayah Hindia yang dijajah oleh Belanda.
Politik Belanda dalam menjajah sangat keras. Mereka melakukan segala cara dan paksa untuk mengangkut kekayaan daerah jajahannya. Baru pada awal abad ke-20, poltik Belanda agak lunak, yaitu sebagai reaksi terhadap politik cultuurstelsel (tanam paksa) yang telah sangat merusak kehidupan kaum bumi putra. Dan sebagai gantinya dianutlah politik etis atau etische politiek.
Politik etis dalam kenyataannya tidaklah mengurangi ketamakan penjajah dalam mengeksploitaasi daerah jajahanya, tetapi sebagai "balas jasa" mereka mulai memperhatikan nasib anak negri. Kemungkinan untuk bersekolah, untuk mendapatkan pendidikan, untuk maju bagi orang-orang bumi putera mulai agak leluasa.
Dan sebagai reaksi terhadap perkembangan itu, para pemimpin nasional Indonesia seperti HOS Tjokroaminoto, H. Agus Salim, Abdul Muis, Tan Malaka, Semaun kian giat memperjuangkan agar bahasa Melayu menjadi bahasa nasional. Terutama Soekarno telah membuat bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia yang hidup, lincah, lentuk, dan populer.
B. Perkembangan Sastra Di Indonesia
Beberapa penelaah sastra Indonesia telah mencoba membuat babakan waktu (periodisasi) sejarah sastra Indonesia. Meskipun di antara para ahli dan sarjana itu ada persamaan-persamaan yang dalam membagi-bagi babakan waktu sejarah sastra Indnesia, kalau diteliti lebih lanjut akan tampak bahwa masing-masing periodisasi itu menunjukkan perbedaan-perbedaan yang mencolok baik istilah maupun konsepsinya.
Dalam ikhtisar ini akan diikuti pembabakan waktu sejarah sastra Indonesia sebagai berikut:
I. MASA KELAHIRAN (1900-1945) yang dapat dibagi menjadi:
1. Periode awal hingga 1933;
2. Periode 1933-1942;
3. Periode 1942-45.
II. MASA PERKEMBANGAN (1945-sekarang) meliputi:
1. Periode 1945-1953;
2. Periode 1953-1961; dan
3. Periode 1961- sekarang.
Dalam pembabakan ini digunaan istilah "periodisasi" dan bukan "angkatan" karena angkatan dalam sastra Indonesia telah menimbulkan berbagai kekacauan. Pembedaan antara periode yang satu dengan periode yang lain berdasarkan norma-norma umum dalam sastra sebagai pengaruh situasi masing-masing zaman. Sedangkan pembedaan antara angkatan yang satu dengan yang lain sering ditekankan pada adanya perbedaan konsepsi masing-masing angkatan. Dalam satu periode mungkin saja kita menemukan aktivitas lebih dari satu golongan pengarang yang mempunyai konsepsi yang berbeda-beda; sedangkan munculnya periode baru tidak pula usah berarti munculnya angkatan baru dengan konsepsi yang baru. Perbedaan norma umum dalam sastra sebagai pengaruh situasi suatu zaman mungkin menimbukan suasana baru dalam kehidupan sastra tanpa melahirkan suatu konsepsi sastra baru yang dirumuskan oleh seseorang atau sekelompok sastrawan.
1. Priode 1900-1933
Bacaan Liar” dan Commissie Voor de Volkslectuur (Balai Pustaka)
Pada tahun 1848 Pemerintah jajahan Belanda mendapat kekuasaan dan Raja mempergunakan uang sebanyak f25.000 untuk keperluan sekolah. Sekolah itu didirikan untuk anak-anak untuk putera.
Dengan didirikanya sekolah banyak orang yang mempunyai kegemaran membaca dan menulis, sehinga timbulah orang yang berbakat yang mulai menulis berbagai rupa-rupa karangan. Surat-surat kabar dicetak baik dalam bahasa Belanda maupun dalam bahasa Melayu yang tersebar di Melayu, Jakarta dan kota yang lain.
Pada abar ke- 19 di Surabaya terbit surat kabar Bintang Timoer (1862), di Padang terbit Pelita Ketjil (1882), dan di Jakarta terbit Bianglala (1867).
Kemudian tahun 1900 ada surat kabar yang memuat karangan yang bersifat Sastra. Awal abad 20 di Bandung ada surat kabar Medan Prijaji yang memuat cerita-cerita bersambung yang berbentuk Roman. Yang sangat menarik ialah sebuah roman yang berjudul Hikayat Siti Mariah yang ditulis H.Moekti.
Disamping itu pemimpin redaksi Medan Prijaji, Raden Mas (Djoko Nomo) Tirto Adhisarjo (1875-1916) menulis dua buah cerita roman berjudul Bosuno (1910) dan Nyai Permana (1912).
Semaun menulis sebuah roman berjudul Hikayat Kadiroen (1924) yang dilarang beredar oleh pemerintah karena mereka berpaham kiri yang sifat-sifat dan isi karangan-karangan semacam itu banyak menghasut rakyat untuk berontak, maka karangan-karangan itu disebut “Bacaan Liar”, begitu juga dengan pengarangnya disebut “Pengarang liar”.
Peranakan Indo menulis cerita misalnya G.Francis yang menulis kisah Nyai Dasima (1896). Kaum terpelajar Indonesia pada waktu itu telah membaca buku pengarang Belanda yang membela hak kemerdekaan Pribumi. Misalnya Multatuli dalam bukunya Max Havelaar sangat besar pengaruhnya dalam membangkitkan kesadaran kebangsaan dan keinginan merdeka bangsa Indonesia. Multatuli adalah nama samaran dari Edward Douwes Dekker (1820-1887) yang artinya “Aku Telah Banyak Menderita”. Ia menjadi pegawai pemerintah jajahan di Indonesia. Pada tahun 1908 didirikan Komisi Bacaan Rakyat (Commissie Voor de Inlandsche School en Volkslectuur) yang berubah menjadi kantor Bacaan Rakyat (Kantoor Voor de Volkstectuur) pada tahun 1917 atau Balai Pustaka.
Pada tahun terbit roman pertama dalam Bahasa Sunda karangan D.K. Ardiwinata (1866-1947) berjudul Baruang Ka Nu Ngarora (Racun Bagi Para Muda). Pada tahun 1918 terbitlah cerita Si Jamin dan Si Johan yang disadur Merari Seregar dari Jan Smees karangan J. Van Maurik. Dua tahun kemudian terbit roman pertama dalam bahasa Indonesia berjudul Azab dan Sengsara Seorang Anak Gadis (1920) karya Merari Siregar yang diterbitkan oleh Balai Pustaka. Kemudian roman Marah Rusli berjudul Sitti Nurbaya (1922), kemudian disusul Muda Teruna (1922) karangan M. Kasim.
Sajak-sajak Yamin dan Rustam Effendi
Dalam majalah Jong Sumatra tahun 1920 dimuat sebuah sajak sembilan seuntai dengan Muhammad Yamin yang berjudul Tanah Air. Antara tahun 1920-1922 Yamin banyak menulis sajak-sajak lirika. Kebanyakan berupa pujian-pujian terhadap tanah air dan bahasa bundanya sebuah sejarahnya yang berjudul “Bahasa Bangsa”melukiskan perasaannya tentang “Tiada bahasa, bangsa pun hilang”.
Pada tahun 1922, sajak Tanah Air yang semula terdiri dari tiga bait dan dimuat dalam Jong Sumatra 1920 itu, kemudian diterbitkan bersama tambahannya menjadi sebuah buku kecil. Judulnya Tanah Air juga, dipersembahkan penyairnya untuk menyonsong peringatan 5 tahun berdirinya perkumpulan “Jong Sumatra Bond”.
M. Yamin dilahirkan di Sawahlunto pada tanggal 23 Agustus 1903 dan meninggal di Jakarta tanggal 26 Oktober 1962. Selain menulis sajak, ia pun banyak menulis drama yang berlatar belakang sejarah, antara Ken Arok dan Ken Dedes (1934) dan Kalau Dewi Tara Sudah Berkata ……….. (1932).
Penyair yang sezaman dengan Yamin yang juga sadar akan tugasnya untuk berjuang guna kemerdekaan bangsanya ialah Roestam Effendi (1902). Roestam Effendi menulis dua buah buku yaitu Bebasari (1924) dan Percikan Permenungan (1926). Bebasari ialah sebuah drama bersajak mengisahkan perjuangan seorang pemuda yang membebaskan kekasihnya dari cengkraman keserakahan raksasa. Drama ini merupakan sebuah perlambang/simbolik dari cita-cita pengarangnya. Agaknya jelas dari judulnya yang mengandung perkataan “bebas” maksud dari kekasih yang hendak dibebaskan si pemuda merupakan perlambang tanah air yang berada di tangan penjajah.
Dari segi sejarah sastra Indonesia, buku ini penting karena merupakan sandiwara pertama yang ditulis dalam bahasa Indonesia dalam bentuk sajak.
Bukunya yang lain, Percikan Permenungan merupakan sebuah kumpulan sajak. Sajak-sajak yang dimuat dalam kumpulan ini merupakan percobaan-percobaan berani yang dilakukan oleh Roestam Effendi dalam menulis puisi Indonesia yang sedapat mungkin lepas dari tradisi sastra Melayu.
BUKAN BETA BIJAK BERPERI
Bukan beta bijak berperi
Pandai menggubah madahan syair,
bukan beta budak Negeri,
musti menurut undangan mair.
Sarat-sarat saya mungkiri,
untai rangkaian seloka lama,
Beta buang beta singkiri,
sebab laguku menurut sukma.
Susah sungguh saya sampaikan,
degup-degupan di dalam kalbu,
Lemah laun lagu dengungan
Matnya digamat rasaian waktu.
Sering saya susah sesaat,
sebab madahan tidak nak datang.
Sering saya sulit mendekat,
sebab terkurung lukisan mamang.
Bukan beta bijak berlagu,
dapat melemah bingkaian pantun,
Bukan beta berbuat baru,
hanya mendengar bisikan alun.
Balai Pustaka dan Roman-romannya
Roman Azab dan Sengsara buah tangan Merari Siregar merupakan kritik tak langsung kepada berbagai adat dan kebiasaan buruk yang tidak sesuai lagi dengan zaman modern. Roman ini merupakan roman pertama tentang kawin paksa, dan buah tangan M. Kasim yaitu Muda Teruna (1922) yang berupa hikayat.
Roman Sitti Nurbaya (1922) karya Marah Rusli, telah berhasil mengeluarkan kritik terhadap berbagai keburukan adat kuno yang berkenaan dengan perkawinan. Kemudian baru tiga puluh tahun Marah Rusli menghasilkan karya La Hami (1952) dan Anak Kemerdekaan. Ketika ia meninggal, masih ada subuah naskan roman yang belum diterbitkan berjudul Memang Jodoh.
Pengarang lain yang menentang adat kuno mengenai perkawinan dalam roman-romannya ialah Adinogoro nama samaran Djamaludin (1904-1966) yang menulis dua buah buah roman berjudul Darah Muda (1927) dan Asmara Jaya (1928). Kedua roman itu tokoh-tokoh muda bukan saja menentang adat kuno dalam membela haknya memilih jodoh, melainkan juga menang dalam perlawanan itu.
Persoalan pemilihan jodoh dan campur tangan orang tua dalm pernikahan anaknya terdapat pula dalam roman lain terbitan Balai Pustaka misalnya roman berjudul Karam Dalam Gelombang Percintaan (1926) buah tangan Kedjora, Pertemuan (1927) buah tangan Abas Soetan Pamoentjak, Salah Pilih (1928) karangan Nur Sutan Iskandar, Cinta yang Membawa Maut (1926) karangan Abd. Ager dan Nursinah Iskandar.
Kisah percintaan yang tokoh-tokohnya terdiri dari para pemuda yang telah mengecap pendidikan sekolah merupakan tema yang disukai benar oleh umumnya para pengarang masa itu, seperti dapat dita baca dalam roman-roman Jeumpa Aceh (1928) bukan tangan H.M. Zainuddin. Tak Disangka (1929) karangan Tulis Sutan Sati, Tak Putus Dirundung Malang (1929) karangan Sutan Takdir Alisyahbana, dan lain-lain.
Roman terpenting yang diterbitkan Balai Pustaka pada tahun dua puluhan ialah Salah Asuhan (1928) buah tangan lebih realistis. Yang menjadi perhatian bukan lagi kawin paksa. Pertentangan paham antara kaum muda dengan kaum kolot dalam soal pernikahan tidaklah dilihatnya secara blok hitam dan blok putih. Ia dengan jelas dan meyakinkan melukiskan kebaikan-kebaikan dan keburukan-keburukan yang terdapat pada kedua blok itu. Yang menjadi masalah bagi pengarang yang aktif dalam pergerakan kebangsaan Indische Partij (tahun belasan) ialah akibat-akibat lebih jauh dari pertemuan kebudayaan Eropa yang masuk ke dalam tubuh anak-anak bangsanya melalui pendidikan sekolah kolonial Belanda.
Abdul Muis sendiri karena aktivitasnya dalam syari’at Islam pernah mendapat hukuman dari pemerintah jajahan Balanda. Ia seorang Minangkabau yang pergi merantau untuk berlayar ke Jawa lalu kawin dengan gadis Sunda dan hidup di tanah Priangan sampai meninggal. Kecuali menulis Salah Asuhan, ia pun menulis Pertemuan Jodoh (1933), juga roman percintaan yang bertendensi sosial. Sehabis perang menulis roman berdasarkan sejarah yakni Surapati (1950) dan Robert Anak Surapati (1953). Keduanya merupakan roman sejarah perjuangan melawan penjajahan Belanda. Ketiga buah romannya yang lain itu tidak ada yang mengatasi Salah Asuhan nilainya.
Halnya dengan Sanusi Pane (1905-1968), bukunya pertama berupa kumpulan prosa lirik berjudul “Pancaran Cinta” (1926), kemudian disusul oleh kumpulan sajak Puspa Mega (1927. sajak-sajak dalam kumpulan ini hampir seluruhnya berbentuk soneta. Bentuk puisi Italia yang pertama kali digunakan oleh Muhammad Yamon ini memang sangat banyak persamaannya dengan pantun. Soneta terdiri dari 14 baris yang umumnya dua bait pertama (octavo) berupa empat seuntai dan 2 bait terakhir (sextet) tiga seuntai.
Konsepsi ini kemudian diperbaiki lagi dalam sajak yang juga berjudul sajak, yang dimuat dalam kumpulan sajaknya yang terakhir yaitu Madah Kelana (1931). Dalam sajaknya ini ia telah mengubah pandangan tentang sajak dan kepujanggaan
Pada tahun 1929-1930 ia mendapat kesempatan untuk melawat ke negeri India yang sangat dikaguminya dan sajak Madah Kelana. Sajak-sajaknya yang dimuat dalam Keluh, Do’a banyak bercerita tantang cintanya.
Dapat kau memberitahukan daku.
Di mana gerang tempat bagia,
Di mana damai tidak terganggu.
Dimana jiwa bersuka ria?
Perhatian yang besar kepada sejarah tampak pula pada drama yang ditulisnya. Dari lima buah drama yang ditulisnya, empat adalah berdasarkan sejarah Jawa, dua diantara yang empat itu ditulis dalam bahasa Belanda, yaitu Airlangga (1928) dan.
Eenzame Garoedavlucht (1930). Yang ditulis dalam Bahasa Indonesia ialah Kertajaya (1932) dan Sandhakala ning Majapahit (1933). Drama yang terakhir ditulisnya berjudul Manusia Baru (1940).
Pada tahun 1932-1933 ia memimpin majalah Timboel edisi bahasa Indonesia. Perhatiannya kepada sejarah menyebabkan ia menulis buku sejarah Indonesia (1942) dan Indonesia Sepanjang Masa (1952). Ia juga menerjemahkan Arjuna Wiwaha (1948) dari bahasa Kawi dan menyusun Bungarampai dari Hikayat Lama (1946).
Para Pengarang Balai Pustaka (1900-1942)
1. Nur Sutan Iskandar (lahir di Maninjau 1893)
a. Apa Dayaku karena Aku Perempuan (1922)
b. Cinta yang Membawa Maut (1926)
c. Salah Pilih (1928). Roman ini mengupas tentang keburukan perkawinan Asri dan Sarinah.
d. Karena Mertua (1932). Roman ini melukiskan kehidupan rumah tangga yang terlalu dirong-rong oleh pihak mertua sehingga mengalami berbagai krisis.
e. Tuba Dibalas dengan Susu (1933) yang diambil dari naskah Asmaradewi, mengisahkan kesabaran seorang lelaki yang senantiasa dihinakan oleh pihak perempuan.
f. Hulu Balang Raja (1934) yang merupakan roman sejarah yang didasarkan pada sebuah disertasi H. Kroeskamp De Westkust en Minangkabau (1665-1668) (partai Barat dan Minangkabau 1665-1668 terbit 1931).
Masih banyak roman atau karya Nur Sutan Iskandar yang terbit setelah tahun 1933. misalnya Katak Hendak Jadi Lembu (1935), Neraka Dunia (1937), Dewi Rimba (1935), Cinta dan Kewajiban (1941), dan lain-lain.
2. I Gusti Njoman Pandji Tisna
a. Ni Rawit Ceti Penjual Orang (1935) yang melukiskan kebengisan masyarakat feodal di Bali.
b. Sukreni Gadis Bali (1936) yang melukiskan kehidupan masyarakat Bali yang keras dan kejam.
c. I Swasta Setahun di Bedahulu (1938) yang melukiskan masalah hukum karma, yang merupakan lntrik Keraton dan berbagai kebiasaan raja-raja. Didalamnya menggambarkan kutuk dewata yang harus ditanggung oleh keturunan yang bersangkutan
d. Dewi Karana (1938) diterbitkan di Medan.
e. I Made Widiadi (kembali kepada Tuhan) 1954), dikarang penulisnya setelah memeluk agama Islam.
Para Pengarang Wanita
1. Sariamin yang biasa terkenal dengan nama Selasih atau Seleguri menulis di Talu, Sumatra Barat 1909. Ia menulis dua buah roman yaitu :
a. Kalau Tak Untung (1933), melukiskan percintaan dua orang anak yang bersahabat sejak kecil, sama-sama sekolah dan sama pula hidup dalam tak berkecukupan.
b. Pengaruh Keadaan (1937), mengisahkan kesengsaraan dan kemalangan seorang gadis yang bernama Yusnani, yang hidup dalam tekanan ibu tirinya, sehingga ia kehilangan kepercayaan akan dirinya sendiri.
2. Hamdah yang merupakan samaran Fatimah H. Delais (1914-1953) yang berasal dari Palembang. Karyanya hanya sebuah saja yaitu Kehilangan Mestika (1935). Roman ini menceritakan kemalangan seorang gadis yang kehilangan ayah, kemudian kehilangan kekasihnya.
Cerita Pendek
Dalam majalah Pandji Poeskaka dan lain-lain tahun dua puluhan sudah mulai dimuat kisah-kisah pendek yang sifatnya lelucon-hiburan. Cerita-cerita itu mengingatkan kita akan tokoh-tokoh cerita rakyat lama yang terdapat diseluruh Indonesia seperti si Kabayan, si Lebai Malang, Jaka Dolok dan lain-lain.
Pada tahun 1936 atas usaha Balai Pustaka. Cerita-cerita yang lucu yang ditulis oleh M. Kasim yang sebelumnya bertebaran dalam Pandji Poestaka, dibukukan dengan judul Teman Duduk. Roman pertama yang dikarang M. Kasim ialah Muda Teruna (1922), Pemandangan Dalam Dunia Kanak-Kanak (si Samin) (1924).
Cerpen-cerpen Suman Hs. yang dikumpulkan dengan kata pengantar oleh Sutan Takdir Alisjahbana. Kumpulan itu berjudul Kawan Bergelut (1938). Judul cerpen-cerpen Suman Hs., diantaranya :
1. Pantai jatuh, yang menyindir orang yang suka sombong
2. Fatwa Membawa Kecewa, menyindir orang yang menyebut dirinya alim dan suka memberi fatwa supaya orang suka bersedekah tetapi ia sendiri serakah.
3. Kelakar si Bogor, menyindir orang-orang yang sok sekolah tetapi akalnya dapat dikalahkan oleh seorang yang buta huruf.
Kesedihan sebagai motif penulisan cerpen menjadi bahan yang produktif buat Jaji Abdul Karim Amrullah yang terkenal dengan Hamka (lahir Februari 1908 di Maninjau) yang dikumpulkan dalam Lembah Kehidupan (1941).
Cerpen “Inyik Utih”, yang berhasil yaitu melukiskan kesepian dan impian seorang gadis yang sampai rambutnya putih belum bersuami. Demikian pula cerpen-cerpen Sa’adah Alim yang dikumpulkan dengan Taman Penghibur Hati (1941).
Penulis cerpen yang lebih sungguh-sungguh adalah Armijn Pane. Cerpen-cerpennya banyak dimuat dalam majalah Poejangga Baroe, diantaranya yang berjudul “Belenggu”. Dalam cerpen “Tujuan Hidup” ia mencoba melukiskan kesepian hidup seorang gadis yang menjadi guru dan memilih hidup menyendiri.
Cerpen-cerpen yang ditulisnya sebelum perang dan sesudah perang dikumpul-kan dan diterbitkan dengan judul Kisah Antara Manusia (1953).
TOKOH-TOKOH SASTRA ANGKATAN BALAI PUSTAKA
1. NUR SUTAN ISKANDAR
Nur Sutan Iskandar dilahirkan pada tanggal 3 November 1893 di Sungai Batang, Maninjau, Sumatra Barat. Namanya semasa kecil adalah Muhammad Nur, setelah beristri menurut adat Minangkabau diberi gelar Sutan Iskandar. Pendidikannya adalah Sekolah Melayu kelas II di Maninjau tamat tahun 1908. Ia menjadi guru sekolah desa di sungai batang dan setelah itu menjadi guru bantu di Muara Beliti (Palembang). Pada tahun 1914 ia dipindahkan ke sekolah kelas II di Padang. Selanjutnya berturut-turut kedudukannya adalah menjadi korektor Balai Pustaka, Redaktur Kepala pada Balai Pustaka. Dosen Bahasa Indonesia pada Fakultas Sastra di Universitas Indonesia Jakarta. Salah seorang pengurus Budi Utomo, juga menjadi pengurus Partai Indonesia Raya. Pernah pula menjadi pengurus Partai Nasional Indonesia. Ia adalah perintis kemerdekaan dan mendapat anugerah Satyalencana Kemerdekaan dari Pemerintah Republik Indonesia. Kiranya semua orang akan sependapat kalau dikatakan bahwa Nur Sutan Iskandar adalah orang yang sangat setia kepada karyanya, yakni mengarang. Banyak sekali buku peninggalannya baik berupa karya asli, saduran, maupun terjamahan. Bahasanya amat lancar dan terjaga dengan baik. Dengan sangat teliti ia menggambarkan lokasi cerita, hinggga mampu membuat karyanya sangat menarik.
Adapun karyanya antara lain :
a. Neraka Dunia (Novel 1937)
b. Cinta Tanah Air (Novel 1944)
c. Perjalanan Hidup ; Perjuangan Srikandi Irian Barat untuk Kemerdekaan (1962)
d. Gudang Intan Nabi Sulaiman (1929, dari Ridder Hanggard)
e. Tiga Panglima Perang (1922, saduran dari Alexander Dimas)
f. Abunawas (1929)
2. MARAH RUSLI
Seorang bangsawan yang lahir di Padang pada tahun 1889 dan meninggal pada tanggal 17 Januari 1968. Ia menjadi dokter hewan beberapa lama di Sumbawa dan terakhir di Semarang. Akibat perkawinannya dengan gadis Sunda yang tidak disetujui keluarganya maka ia diasingkan dari ikatan keluarga. Situasi demikian sedikit banyak akan tercermin dalam, karya-karyanya. Roman Siti Nurbaya merupakan roman karya Marah Rusli yang paling populer pada Angkatan Balai Pustaka, bahkan paad zaman Belanda roman itu dicantumkan sebagai buku pelajaran di AMS, Yogyakarta. Marah Rusli dianggap sebagai salah seorang pelopor atau pengakhir zaman kesusasteraan lama. Persoalan yang dikemukakan di dalam bukunya bukan hal-hal yang istana sentris lagi dan bukan hal-hal yang bersifat fantasi belaka, melainkan lukisan realitas masyarakat. Adapun karangan Marah Rusli yang lain adalah :
a. Anak dan Kemenakan (roman 1956)
b. La Hami (roman sejarah di Pulau Sumba)
c. Memang Jodoh (belum diterbitkan sampai sekarang)
2. PERIODE 1933-1942
a. Lahirnya Majalah Pujangga Baru
Sejak tahun 1920 kita sudah mengenal majalah yang memuat karanagan “sastra seperti Sri Poestaka (1919-1941). Panji Poestaka (1919-1992) Yong Soematra (1920-1926). Hinggga awal tahun 1930 an para pengarang untuk menerbitkan majalah khusus kebudayaan dan kesastraan belum juga terlaksana
Tahun 1930 terbit Majalah Timboel (1930-193 ) mula-mula dalam bahasa Belanda kemudian pada tahun 1932 terbit juga edisi bahasa Indonesia Sutan Takdir Ali Syahbana sebagai direktur.
Baru pada tahun 1933, Armijn Pane, Amir Hamzah dan Sutan Takdir Ali Syahbana berhasil mendirikan Majalah kesastraan dan bahasa serta kebudayaan umum. Tahun 1935 berubah menjadi menjadi pembawa semangat baru dalam kesastraan, seni, kebudayaan dan soal masyarakat umum”. Kemudian tahun 1936 terjadi lagi pembahasan yaiut bnerbunyi “Pembimbing semangat baru yang dinamis untuk membentuk kebudayaan persatuan Indonesia.”
Majalah ini terbit dengan setia meskipun bukan tanpa kesulitan berkat pengorbanan dan keuletan Sutan Takdir Alisahbana. Kelahiran majalah Poejangga Baru yang banyak melontarkan gagsan-gagasan baru dalam bidang kebudayaan bukan berarti tidak menimbulkan reaksi. Keberaniannya menandakan bahasa Indonesia sekolah bahasa Melayu menimbulkan berbagai reaksi, sikap ini menimbulkan reaksi dari para tokoh bahasa yang erat berpegang kepada kemurnian bahasa Melayu tinggi seperti H. Agus Salim (1884-1954) Sutan Moh. Zain (tahun1887), S.M Latif yang menggunakan nama samaran Linea Recta dan lain-lain.
b. Tokoh-tokoh Poejangga Baru
• Sutan Takdir Alisjahbana
Motor dan penggerak semangat gerakan Pujangga baru ialah Sutan Takdir Alisyahbana lahir di Natal 1908. Sejak tahun 1929 muncul dipanggung sejarah dengan roman berjudul Tak Putus Dirundung Malang, roman kedua berjudul Dian Yang Tak Kunjung Padam (1932) roman ketiga berjudul Layar Terkembang (1936), adapun roman yang berjudul Anak Perawan Disarang Penyamun (1941) ditulisnya lebih dahulu dari pada Layar Terkembang dimuat sebagai Feulilleton dan majalah Pandji Poestaka.
Tiga puluh tahun kemudian Sutan Takdir Alisjahbana menulis roman yang berjudul Grotta Azzurra (Gua Biru). Layar Terkembang merupakan roman Takdir yang terpenting., yang terbit pada tahun tiga puluhan merupakan salah satu karya terpenting pula dari para pujangga baru .Sebagai penulis roman, Takdir terkenal sebagai penulis esai dan sebagai pembina Bahasa Indonesia. Oleh Ir. S. Udin ia pernah disebut sebagai “insinyur bahasa Indonesia”.
Atas inisiatif Takdir melalui pujangga baru-lah maka pada tahun 1938 di Solo diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia yang pertama. Sehabis perang Takdir pernah menerbitkan dan memimpin majalah Pembina Bahasa Indonesia ( 1947-1952 ). Dalam majalah itu dimuat segala hal-ihwal perkembangan dan masalah bahasa Indonesia. Tulisan yang berkenaan dengan bahasa kemudian diterbitkan dengan judul Dari Perjuangan dan Pertumbuhan Bahasa Indonesia ( 1957 ).
Takdir juga menulis sajak-sajak salah satunya yang mengenangkan pada kematian isterinya yaitu berjudul Tebaran Mega ( 1936 ).Esai-esai Takdir tentang sastra banyak juga antara lain “Puisi Indonesia Zaman Baru”. Kesusastraan di zaman Pembangunan Bangsa (1938), “Kedudukan Perempuan dalam Kesusastraan Timur Baru (1941)”, dan lain-lain. Ia pun menyusun dua serangkai bungarampai Puisi Lama (1941).Dan Puisi Baru (1946) dengan kata pengantar yang menekankan pendapatnya bahwa sastra merupakan pancaran masyarakatnya masing-masing.
• Armijn Pane
Organisator pujangga baru adalah Armijn Pane. Tahun 1933 ia bersama Takdir dan kawan sekolahnya, Amir Hamzah, menerbitkan majalah Poedjangga Baroe. Armin terkenal sebagai pengarang roman Belenggu (1940). Roman ini mendapat reaksi yang hebat, baik dari yang pro maupun yang kontra terhadapnya.Yang pro menyokongnya sebagai hasil sastra yang berani dan yang kontra menyebutnya sebagai sebuah karya cabul yang terlalu banyak melukiskan kehidupan nyata yang selama itu disembunyikan dibelakang dinding-dinding kesopanan.
Belenggu ialah sebuah roman yang menarik karena yang dilukiskan bukanlah gerak-gerak lahir tokoh-tokohnya, tetapi gerak-gerak batinnya.
Arminj pane sebagai pengarang dalam roman yang berjudul Belenggu ini tidak menyelesaikan ceritanya sebagai kebiasaan-kebiasaan para pengarang sebelumnya, melainkan membiarkannya diselesaikan oleh para pembaca sesuai dengan angan masing-masing. Sebelum menulis roman Armijn Pane banyak menulis cerpen, sajak, esai dan sandiwara. Cerpennya “Barang Tiada Berharga”. Dan sandiwaranya “Lukisan Masa” merupakan prototif buat romannya Belenggu.
Cerpen-cerpennya bersama dengan yang ditulisnya sesudah perang kemudian dikumpulkan dengan judul Kisah Antara Manusia (1953). Sedang sandiwara-sandiwaranya dikumpulkan dengan judul Jinak-jinak Merpati (1954). Sajak-sajaknya dengan judul Jiwa Berjiwa diterbitkan sebagai nomor istimewa majalah Poedjangga Baroe (1939). Dan sajak-sajaknya tersebar kemudian dikumpulkan juga dan terbit dibawah judul Gamelan Jiwa (1960). Ia pun banyak pula penulis esai tentang sastra yang masih tersebar dalam berbagai majalah, belum dibukukan. Dalam bahasa Belanda, Armijn menulis Kort Overzicht van de moderne Indonesische Literatuur (1949)
Gaya bahasa Armijn sangat bebas dari struktur bahasa Melayu. Dalam karangan-karangannya ia pun lebih banyak melukiskan gerak kejiwaan tokoh-tokohnya daripada gerak lahirnya. Inilah terutama yang membedakan Armijn dengan pengarang lainnya.
c. Para Pengarang Balai Pustaka
• Nur Sutan Iskandar
Lahir di Maninjau 1893. Ia seorang pengarang Balai Pustaka dalam arti sesungguhnya.Roman pertamanya berjudul: Apa Dayaku Karena Aku Perempuan (1922) diterbitkan oleh swasta, yang kedua Cinta yang Membawa Maut (1926), kemudian bukunya yang menarik adalah Salah Pilih (1928) dan beberapa lagi adalah: Karena Mertua (1932), Tuba dibalas dengan Susu(1933), Hulu Balang Raja (1940 yang terpenting merupakan sebuah roman sejarah yang dikerjakan berdasarkan disertasi H. Kroekampde Westkust en Minang Kabau (1665-1668), Pantai Minang Kabau 91668 terbit 19310, Katak Hendak Jadi Lembu (1935) yang berlaku dikalangan priyayi sunda di Sumedang, roman ini gagal diceritakan karena ia tidak mengenal adat Sunda. Neraka Dunia (1937).
Karangan Nur Sutan Iskandar yang perlu disebut juga disini adalah Pengalaman Masa Kecil (1949) dan Ujian Masa (1952), yang keduanya merupakan kenangan otobiografis. Pengalaman masa kecil menarik hati yang melukiskan pengalaman-pengalaman sampai ia berusia 15 tahun, ketika ia mulai mengajar di sekolah desa tahun 1908. Ujian Masa lebih merupakan catatan-catatan tentang peristiwa politik yang terjadi di Indonesia sejak aksi meliter Belanda pertama sampai awal 1948.
• I Gusti Njoman Panji Tisna
Ni Rawit Ceti Penjual Orang yang melukiskan kebengisan masyarakat Feodal di Bali. Roman pertama yang dikarang putera bali dalam bahasa Indonesia. Roman keduanya adalah Sukreni Gadis Bali (1936) yang melahirkan kehidupan masyarakat bali yang keras dan kejam, roman ini mendapatkan kritikan yang tidak setuju kepada beberapa kepercayaan masyarakat Bali.
d. Para Pengarang Wanita
Para pengarang wanita Indonesia jumlahnya tidak banyak. Pada masa sebelum perang, yang paling dikenal dan paling penting ialah Selasih atau Seleguri. Keduanya nama samaran Sariamin (lahir di Tulu, sumatera Utara, tahun 1909) yang menulis dua buah roman dan sajak-sajak. Kedua buah roman itu ialah Kalau Tak Untung (1933) dan Pengaruh Keadaan (1937). Sajak-sajaknya banyak dimuat dalam majalah Poedjangga baroe dan Pandji Poestaka.
Pengarang wanita lain yang juga pengarang roman ialah hamidah yang konon merupakan nama samaran Fatimah H. Delais (1914-1953) yang pernah namanya tercantum sebagai pembantu majalah Poedjangga Baroe dari Palembang. Roman yang ditulisnya hanya sebuah, berjudul Kehilangan Mestika (1935) yang diceritakan dalam roman itu ialah kemalangan dan penderitaan pelakunya. Seorang gadis yang mula-mula kehilangan ayah dan kehilangan kekasih berturut-turut.
Adli Affandi dan Sa’adah Alim (1898-1968) masing-masing menulis sebuah sandiwara, masing-masing berjudul Gadis Modern (1941) dan Pembalasannya (1941). Sa’adah Alim disamping itu juga menulis sejumlah cerpen yang kemudian dibukukan dengan judul Taman Penghibur Hati (1941). Ia pun menterjemahkan Angin Timur Angin Barat buah tangan pengarang wanita berkebangsaan Amerika yang pernah mendapat hadiah Nobel 1938, ialah Pearl S. Buck (lahir 1892).
Pada saat menjelang Jepang datang, muncul pula Mario Amin (dilahirkan di Bengkulu Tahun 1920). Menulis sajak-sajak dalam majalah Poedjangga Baroe, tetapi peranannya lebih berarti pada masa Jepang ketika ia menulis dan mengumpulkan beberapa prosa lirik yang simbolistis.
3. PERIODE 1942-1945
a. Saat-Saat yang Mematangkan
Dijajah Jepang selama 3,5 tahun merupakan pengalaman penting dalam sejarah Indonesia pada umumnya dan juga sastra pada khususnya. Karena Bahasa Indonesia tadinya dihindari Belanda agar supaya jangan resmi menjadi bahasa persatuan . Oleh orang Jepang Bahasa indonesia dijadikan satu-satunya bahasa yang harus dipergunakan diseluruh dikepulauan.
Dengan makin intensifnya Bahasa Indonesia dipergunakan dikepulauan Nusantara, maka sastra indonesiapun mengalami intensifikasi juga. Keimin Bunka Shindo merupakan kantor pusat kebahasaan yang dibentuk oleh Jepang. Selain itu, Jepang juga mengadakan perkumpulan sandiwara dibawah P.O.S.D (Perserikatan Oesha Sandiwara Djawa ) .
Pada masa penjajahan Jepang banyak orang menulis sajak dan cerpen, sandiwara sedangkan roman kurang ditulis itupun yang diterbitkan hanya dua Cinta Tanah Air, karangan Nur Sultan Iskandar dan Palawija (1944) karya Karim Halim. Keduanya roman propaganda yang bernilai sastra.
Pada masa inilah Bahasa Indonesia mengalami pematangan, seperti tampak pada sajak Chairil Anwar dan prosa Idrus yang tidak hanya sekedar alat untuk bercerita atau menyampaikan berita, tetapi telah menjadi alat pengucap sastra yang dewasa. Usaha inilah yang menyebabkan dimulainya suatu tradisi puisi indonesia yang hampir tak terbatas. Bahasa sajak Khairil Anwar bukan lagi bahasa buku yang terpisah dari kehidupan, tetapi bahasa sehari-hari yang menulang-sumsum, membersit spontan.
Kehidupan yang morat-marit juga mengajar para pengarang supaya belajar hemat dengan kata-kata. Setiap kata, kalimat, setiap alinea ditimbang dengan matang, baru disodorkn kepada pembaca. Juga segala superativisme dan perbandingan yang penuh retorika yang menjadi cirri dan kegemaran para pengarang pujangga baru telah ditinggalkan.
b. Para Penyair
Usmar Ismail, Bukittinggi 20 maret 1921, dikenal sebagai seorang dramawan dan sineas (pembuat film). Cerpen-cerpennya hanya ada beberapa saja, antara lain dimuat dalam Pancaran Cinta (1946) dan Gema Tanah Air (1948) disusun oleh H.B Jassin. Sajak-sajak Usmar kemudian dikumpulkan dan diterbitkan dalam dengan judul Patung Berasap (1949).
Dalam sajak “Kita Berjuang” ia dengan lantang menyatakan hahsratnya “Beserta saudara turut berjuang.” Maksudnya bserta saudara tua. Dalam sajak “Pujangga dan Cita-cita” ia dengan yakin berkata kepada pujangga, “ Carilah dahulu perjuangan jiwa/Carilah Asia di dalam dada.” Namun tak lama ia pun menulis sajak “Diserang Rasa” yang menggambarkan timbulnya rasa\was-was dan ragu kepada kesungguhnan janji semboyan Jepang.
DISERANG RASA
Apa hendak dikata
Jika rasa bersimaharajarela
Di dalam batin gelisah saja
Seperti menanti suatu yang tak hendak tiba
Pelita harapan berkelap-kelip
Tak hendak padam, hanyalah lemah segala sendi
Bertambah kelesah hati yang gundah
Sangsi, kecewa, meradang resah
Benci, dedam……..rindu, cinta………..
Amal Hamzah, adik Amir Hamzah, lahir di Binjai, Langkat 31 Agustus 1922. Ia menerjemahkan beberapa buah karya Tagore, yang pernah mendapatkan hadiah Nobel 1931 di antaranya Gitanyali (1947).
Amal mulai menulis di zaman Jepang, ketika ia kehilangan kepercayaan kepada manusia. Ia menjadi kasar dan sajak-sajaknya sangat naturalistis. Dalam sandiwara-sandiwaranya sangat menonjolkan sensualisme. Sajak dan karangan lain kemudian diterbitkan dalam sebuha buku berjudul Pembebasan Pertama (1949). Hilangnya kepercayaan kepada manusia, jelass terlihat dalam sajak “Melaut Benciku”. Selain itu, Amal juga menulis buku yang berjudul “ Buku dan Penulis” (1950).
MELAUT BENCIKU
Melaut benciku terhaadap manusia
Melaut pula benciku terhadapku sendiri
Karena dalamkelakuanmereka
Terlihat olehku perangaiku asli
Menjilat
Menipu
Membohong
Memeras
……………………………
Kalau boleh kupinta dulu
Aku tak usah lahir ke dunia tipu
Tapi mlang!
Aku lahir bukan kehendakku!
Dalam pelukan cainta berahi
Tumbuh benih membusuk diri
Tercampak ke dunia
Sebagai hasil nafsu kedua!
Bah!
Kalau boleh kupinta dulu
Jangan badan datang kemari
Rosihan Anwar, Padang 10 mei 1922. Sekarang terkenal sebagai wartawan komunis terkemuka. Sajak-sajaknya banyak melukiskan perasaaan dan semangat pemuda. Cerpennya yang berjudul “Radio Masyarakat” melukiskan kemelut jiwa pemuda yang dilnda keraguan atas segala janji-janji kosong dari Jepang. Pata tahun 1967 Rosihan menerbitkan sebuah roman berjudul “Radja Ketjil, Badjak Laut di Selat Malaka”.
c. Cerita Pendek
Pada masa Jepang cerpen tumbuh dengan subur. Beberapa penulis cerpen yang terkenal di antaranya adalah H.B. Jassin (Gorontalo, 31 juli 1922) yang menulis cerpen “Anak Laut”. Cerpen itu mungkin bukan cerpen Jassin yang petama, tapi jelas merupakan cerpennya yang terakhir. Sebelum perang Jassin menulis cerpen dalam Poejangga Baroe yang berjudul “Nasib Volontaire “ (1941).
Pengarang cerpen yang lain Bakri Siregar (Langsa /Aceh, 1922). Cerpennya yang pertama berjudul “Ditepi Kawah”. Pada masa pendudukan Jepang cerpen itu dibukukan dengan judul “Jejak Langkah” (1953).
d. Drama
Penulis drama yang juga tumbuh sangat subur di bawah perkumpulan P.O.S.D yang dipimpin Armijn Pane. Beberapa pengarang yang membuat drama pada jaman Jepang adalah Armijn Pane. Armijn yang pada masa sebelum perang telah menulis “Lukisan masa, Barang tiada berharga, dan lain-lain pada masa Jepang menulis beberapa buah sandiwara yang kemudian dibukukan dengan judul “jinak –jinak merpati” (1953). Segera sesudah proklamsi iamenulis “Antara bumi dan langit”.
Usmar Ismail, pada masa Jepang menyadur sebuah kisah “Chichi Kaeru“ karangan Kikuchi Kwan menjadi “Ayahku Pulang”. Selain itu, ia pun menulis sandiwara kepahlawanan rakyat Maluku“Mutiara di Nusa Laut”. Drama yang ditulis Usmar yang belum dibukukan “Mekar Melati”dan “Tempat yang Kosong”. Drama “Api , Liburan Seniman, dan Citra” kemudian dibukukan dengan judul “Sedih dan Gembira” (1949).
Abang Usmar Ismail yang bernama Abu Hanifah (El-Hakim) 1960 di Padang Panjang. Pada zaman Jepang menulis beberapa buah drama yang kemudian dibukukan berjudul “Taufaan di Atas Asia” (1949). Ada empat buah drama dalam buku itu, yaitu Taufan di Atas Asia terdiri dari 4 bagian, Intelek Istimewa, 3 bagian , Dewi Reni, 3 babak, Insan kamil, 3 babak. Drama Rogaya, 4 babak; Mambang laut, 3 babak belum pernah dibukukan. Kecuali drama, ia juga menulis roman Dokter Rimbu (1942).
Idrus, pada zaman Jepang menulis beberpa buah drama, antaraanya “Kejahatan Membalas Dendam” dimuat dalam buku Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma (1948); Jibaku Aceh (1945); Keluarga Surono (1948); Dokter Bisma 1945. Dalam “Kejahatan Membalas Dendam” ia melukiskan perjuangan pengarangmuda dalam menghadapi (kekuasaan) pengarang kolot dengan (tentu saja) kemenangan di pihak pengarang muda, meskipun si pengarang kolot main guna-guna segala.
Kotot Sukardi menulis sandiwara Bende Mataram yang berlatar belakang maa perang Diponegoro (1825-1830). Sandiwaara itu kemudia diterbitka Balai Pustaka dengan judul yang sama bersama-sama dengan karangan Inu Kertapati yang berjudul Sumping Sureng Pati tahun1945.
4. PERIODE 1953-1961
a. Krisis Sastra Indonesia
Pada bulan April 1952 di Jakarta diselenggarakan sebuah simposium tentang “Kesulitan-kesulitan Zaman Peralihan Sekarang” dalam simposium itu dilontarkan istilah “Krisis Akhlak”, “Krisis Ekonomi” dan berbagai krisis lainnya.
Tahun 1953 di Amsterdam diselenggarakan simposium tentang kesusastraan Indonesia antara lain berbicara dalam simposium itu Asrul Sani, Sultan Takdir Ali Sjahbana, Prof. Dr. Werthim dan lain-lain. Disinilah untuk pertama kali dibicarakan tentang “Impasse (kemacetan) dan “krisis sastra Indonesia” sebagai akibat dari gagalnya revolusi Indonesia, tetapi persoalan tentang krisis baru menjadi bahan pembicaraan yang ramai ketika terbit majalah konfrontasi pada pertengahan tahun 1954. Nomor pertama majalah ini memuat essay Soejatmako berjudul “Mengapa konfrontasi” dalam karangan ini secara tandas dikatakan oleh penulisnya bahwa sastra penulisnya sedang mengalami krisis.
Soejatmoko mengatakan bahwa sastra Indonesia sedang mengalami krisis karena yang ditulis hanya cerpen-cerpen kecil yang “berlingkar sekitar fsikologisme perseorangan semata-mata” roman-roman besar tak ada ditulis.
Karangan Soejatmoko ini mendapat reaksi hebat, terutama dari kalangan sastrawan sendiri seperti : Nugroho Notosusanto, S.M. Ardan, Boejong Saleh, dan lain-lain. Begitu pula H.B. Jassin dalam simposium sastra mengemukakan sebuah prosaran yang diberinya judul “Kesusastraan Indonesia Modern tidak ada krisis” dengan bukti-bukti dari dokumentasi yang kengkap, Jassin pun menolak sebutan adanya krisis maupun impasse dalam kehidupan sastra Indonesia.
Dalam tulisan berjudul “Situasi 1954” yang ditujukan kepada sahabatnya Ramadhan K.H, Nugroho Notosusanto mencoba mencari latar belakang timbulnya penamaan “Impasse sastra Indonesia” yang bagi dia tidak lebih hanya sebuah “Mite” (dagangan belaka). Menurut Nugroho asal timbulnya mite itu ialah pasimisme yang berjangkit dari kalangan orang-orang tertentu pada masa sesudah kedaulatan. Kecuali itu Nogroho pun melihat kemungkinan bahwa golongan “Old Cracks” angkatan 1945 pada sekitar tahun 1945 mengalami masa keemasan, pada masa sesudah tahun 1950 mengalami kemunduran.
Sitor Sitomurang dalam sebuah tulisannya yang berjudul “Krisis” H.B Jossin dalam majalah mimbar Indonesia mengemukakan pendapatnya bahwa yang ada bukanlah krisis sastra melainkan krisis ukuran menilai sastra. Sitor berkesimpulan bahwa krisis yang terjadi ialah krisis dalam diri jassin sendiri karena ukurannya tidak matang.
b. Sastra Majalah
Sejak tahun 1953 balai pustaka yang sejak jaman sebelum perang merupakan penerbit utama buat buku-buku sastra, kedudukannya tidak menentu. Demikian pula penerbit Pustaka Rakyat yang tadinya disamping balai pustaka merupakan penerbit nasional yang banyak menerbitkan buku-buku sastra, agaknya terlibat dalam berbagai kesukaran begitu juga dengan penerbitan buku lainnya seperti pembangunan, dan lainnya.
Maka aktivitas sastra terutama hanya dalam majalah-majalah saja seperti gelanggang atau siasat, mimbar Indonesia, Zhenit, pujangga baru dan lain-ain. karena sifat majalah maka karangan-karangan yang mendapat tempat terutama yang berupa sajak, cerpen dan karangan-karangan lain yang tidak begitu panjang. Keadaan seperti itulah yang menyebabkan lahirnya istilah “sastra majalah” istilah ini pertama kali dilontarkan oleh Nugroho Notosusanto yang dimuat dalam majalah kompas yang dipimpinnya.
Persoalan lahirnya angkatan sesudah Chairil Anwar. Dalam simposium sastra tahun 1955, Harijadi S. Hartowardoyo memberikan sebuah prosaran yang berjudul “Puisi Indonesia sesudah Chairil Anwar” juga dalam simposium-simposium di Jogyakarta, Solo dan kota-kota lain ada kecendrungan pikiran untuk menganggap telah lahir suatu angkatan para pengarang baru yang terasa tidak tepat lagi digolongkan kepada angakatan Chairil Anwar yang populer dengan nama angkatan 45 itu dalam simposium sastra yang diselenggarakan di Jakarta pada tahun 1960 Ajib Rosyidi memberikan sebuah prasaran tentang “sumbangan angkatan terbaru sastrawan Indonesia kepada perkembangan kesusastraan Indonesia “Dalam prasaran itu dicoba untuk mencari ciri-ciri yang membedakan angkatan terbaru dengan angkatan 45. Lebih lanjut dalam prasaran itu dikemukakan bahwa sikap budaya para sastrawan yang tergolong pada angkatan terbaru merupakln sintesin dari dua sikap ekstrim mengenai konsepsi kebudayaan Indonesia.
Dalam seminar kesusastraan yang diselenggarakan oleh fakultas tahun 1963, Nugroho Notosusanto dalam ceramahnya berjudul “soal periodisasi dalam sastra Indonesia” mengemukakan bahwa memang ada periode sebelumnya. Nugroho menekankan pada kenyataan bahwa para pengarang yang aktif menulis pada periode 1950 ialah mereka yang telah mempunyai “sebuah tradisi Indonesia sebagi titik tolak”. Sifat imitatif dari Belanda atau Eropa berkurang. Pandangan keluar negeri tidak hanya Eropa melainkan keseluruh Dunia. Ditambah pula oleh penghargaan yang wajar kepada sastrawan-sastrawan Indonesia sendiri.
Berbeda dengan para pengarang punjangga baru dan angkatan 45, para pengarang periode 50 ini lebih menitik beratkan pada penciptaan hal ini berhubungan juga tentu dengan kurangnya pengetahuan mereka pada saat itu. Baru kemudian setelah berkesempatan menambah pengetahuan pula, mereka merumuskan cita-cita dan kehadirannya.
Dalam hal ini peranan majalah kisah (1953-1956), tidak bisa dibilang kecil, karena banyak pengarang yang muncul dalam periode ini mengumumkan tulisan-tulisannya yang mula-mula dalam majalah ini atau banyak pula pengarang yang sudah menulis sebelum tahun 1953, kemudian mendapat kesempatan berkembang sebaik-baiknya dalam majalah kisah.
Di samping itu patut juga disebut majalah mahasiswa kompas yang setelah dipimpin oleh Nugroho Notosusanto sangat banyak memberikan perhatian kepada persoalan-persoalan dan karya-karya sastra, majalah prosa pimpinan Ajip Rosidi yang hanya terbit nomor, ruangan kebudayaan genta dalam majalah merdeka yang diasuh oleh S.M. Ardan dan kawan-kawan, majalah seni (terbit hanya setahun) majalah konfrontasi, majalah Tjerita dan majalah budaya (terbit di Yogyakarta) dan beberapa majalah lain, disamping majalah-majalah yang sudah lama ada seperti Mimbar Indonesia, Gelanggang atau Siasat Indonesia.
Termasuk kepada para pengaran dari periode ini antara Nugroho Notosusanto, M. Hussyn Umar, Toto.S.Bachtiar, W.S.Wendra, N.H. Dini Subagio Sastrowardoyo, Trisnoyuono, S.M. Ardan, Rajino Paratikro, A.A. Navis, Sukanto. S.A, Iwan Simatupang.
c. Para Pengarang Wanita
• N.H. DINI
N.H. Dini nama lengkapnya Nurhajati Srihardini lahir di Semarang tanggal 29 Pebruari 1936. Mulai menulis cerpen-cepen yang dimuat dalam majalah kisah dan lain-lain. Pada cerpen-cerpen itu tidak ada lagi protes-protes yang berkisar pada soal-soal kewanitaan yang dunianya terjepit di tengah dunia laki-laki. Tokoh wanita Dini ialah manusia-manusia yang berontak karena hendak memperjuangkan harga dirinya sebagai manusia. Dalam cerpen ‘Dua Dunia’ dikisahkan Dini tentang Iswanti seorang janda muda yang sakit tipus yang diceraikan suaminya karena si suami main gila dengan ibu tirinya sendiri. Cerpen itu kemudian bersama dengan beberapa buah cerpennya yang lain dibukukan dengan judul Dua Dunia (1956)
Dalam cerpen-cerpen itu Dini menunjukan perhatiannya yang besar terhadap kepincangan-kepincangan sosial yang dia lihat dan terjadi disekelilingnya . Misalnya dalam cerpennya ‘Kelahiran’ dan ‘Perempuan Warung’.
Setelah terbit dengan kumpulan cerpen itu, Dini kemudian menerbitkn sebuah roman pendek berjudul Hati Yang Damai (1961). Ceritanya tentang seorang isteri penerbang yang ketika suaminya mendapat kecelakaan lalu terlibat dalam cinta segi empat hingga akhirnya ia menemukan kedamain dan keluasan hati suaminya.
Dini kemudian menikah dengan seorang diplomat Perancis. dan ketika mengkuti suaminya bertugas di Jepang ia menulis sebuah roman yang berjudul namaku Hiroko, setelah dari Jepang ia mengikuti suaminya ke Perancis yang berjudul Pada Sebuah Kapal, yang diumumkan pada majalah-majalah sastra dan Horison, naskah roman lain yang sudah diselesaikannya berjudul la Barka.
Kecuali Nh. Dini pada periode ini kita pun mencatat beberapa pengarang wanita lain Surtingsih, Dyantinah B, Supeno dan Hartini ialah para penulis cerpen yang dimuat dalam majalah. Tetapi sebegitu jauh belum ada data-data untuk mencatat kegiatan mereka lebih daripada menyebut nama-namanya saja.
5. PERIODE 1961-Sekarang
a. Sastra dan Politik
Merupakan suatu kenyataan sejarah bahwa sudah sejak awal pertumbuhan sastrawan-sastrawan Indonesia menunjukkan perhatian yang serius kepada politik. Bahkan ada di antaranya yang kemudian lebih terkenal sebagai politikus daripada pengarang seperti Muh. Yamin dan Roestam Effendi. Demikian juga para pengarang pujangga baru ialah orang-orang yang aktif dalam dunia pergerakan nasional. Para pengarang pada awal revolusi bukanlah orang-orang yang bersifat a-politis. Chairil Anwar, Pramaedya Ananta Toer, Achdiat K. Mihardja, Mochtar Lubis merupakan orang-orang yang mempunyai pandangan dan kesadaran politik.
Perbedaan-perbedaan pandangan mengenai seni dan sastra yang berpangkal pada perbedaan-perbedaan pendirian politik, sudah sejak lama kelihatan dalam dunia sastra Indonesia. Pada awal tahun lima puluhan terjadi polemik yang seru juga antara orang-orang yang membela hak hidup Angkatan 45 dengan orang-orang yang mengatakan “Angkatan 45 sudah mampus” yang berpangkal pada suatu sikap politik. Pihak yang berpaham realisme-sosialis, yaitu paham yang menjadi filsafat-seni kaum komunis aktif mengadakan polemik. Penganut paham realisme sosials yang paling keras teriakannya ialah As Dharta yang menjadi pokok soal bahan polemik-polemik ialah paham “seni untuk seni” dan “seni untuk rakyat”, orang-orang yang menganut paham realisme sosialis berpaham “seni untuk rakyat” sambil mengutuk orang-orang yang berpaham “seni untuk seni” sebagai penganut “humanisme universal” yang dicapnya sebagai filsafat kaum borjuis kapitalis yang bobrok.
Yang paling bernilai diantara polemik-polemik itu karena kedua belah pihak menulis dengan kepala dingin dan pandangan yang luas serta hati terbuka ialah yang terjadi sekitar tahun 1954 antara Boejoeng Saleh Poeradisastro dengan Soedjatmoko berkenaan dengan pandangan-pandangan Soedjatmoko dalam karangannya “Mengapa Konfrontasi”.
Pada tahun 1950 berdirilah di Jakarta Lembaga Kebudayaan Rakyat yang kemudian lebih terkenal dengan sebutan Lekra. Sebagai sekretaris jenderalnya yang pertama bertindak As. Dharta. Pada mulanya Lekra ini belum merupakan organ kebudayaan dari PKI. Diantara yang hadir pada ketika pembentukan Lekra itu terdapat orang-orang yang kemudian menjadi musuh antara lain HB Jassin dan Achdiat K. Mihardja. Setelah PKI kuat kedudukannya, Lekra secara resmi menjadi organ kebudayaannya. Lekra dengan tegas menganut “seni untuk rakyat” dan menghantam golongan yang menganut paham “seni untuk seni”.
Dalam gelanggang percaturan politik PKI makin kuat kedudukannya. Tahun 1959 Soekarno mendekritkan UUD 1945 berlaku lagi dan mengajukan “Manifesto Politik” (Manipol) sebagai dasar haluan negara. Manipol memberikan ruang gerak kepada PKI untuk merebut tempat-tempat dan posisi-posisi penting untuk merebut kekuasaan.
Dalam usahanya mempersiapkan diri untuk merebut kekuasaan itu, PKI mengerahkan segala kekuatan dalam segala bidang. Dalam bidang kebudayaan dilakukan oleh Lekra. Lekra melakukan teror terhadap orang-orang dan golongan yang dianggapnya tidak sepaham.
Dalam bidang sastra satu persatu pengarang yang mempunyai paham berbeda dengan mereka, dihantam dan dimusnahkan. Sutan Takdir Alisjahbana yang politis menjadi anggota partai yang dibubarkan (PSI) dan Hamka (Masyumi) menjadi sasarannya. Buku-buku mereka dituntut supaya dilarang dipergunakan.
Tahun 1950 PNI membentuk Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN) diketuai oleh Sita Situmorang. NU membentuk Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia (LESBUMI) dengan ketua Osman Ismail. Partai Kristen Indonesia (Parkindo), Partai Syariat Islam Indonesia (PSII), Partai Indonesia (Partindo).
Dengan berbagai cara para budayawan, seniman, dan pengarang Indonesia dipaksa masuk Lekra. Organisasi-organisasi yang hendak berdiri sendiri (independen) terus diteror dan difitnahnya seperti terjadi dengan Himpunan Mahasiswa islam (HMI) dan Pelajar Islam Indonesia (PII).
c. Sajak-Sajak Perlawanan Terhadap Tirani
Para mahasiswa dan pelajar di Indonesia berdemonstrasi menuntut untuk membubarkan PKI, ritual kabinet Dwikora dan turunkan harga, yang biasa disebut Tritura. Para pengarang dan penyair pun turut serta secara aktif dengan cara menulis sajak-sajak perlawanan terhadap tirani. Diantaranya adalah Tirani dan Benteng oleh Taufiq Ismail, perlawanan oleh Mansur Samin, Mereka Telah Bangkit oleh Bur Rasuanto, Pembebasan oleh Abduk Wahid Sitomorang, Kebangkitan oleh lima penyair mahasiswa Fakultas Sastra, Ribeli yang ditulis oleh Aldiah Arifin, Djohan A. Nasution dan dua pengaduan Lubis, dan sajak-sajak yang lain.
Yang paling penting adalah kumpulan sajak Tirani yang tercetak pada tahun 1966 dan Benteng tahun 1968.
Adanya protes sosial dan politik dalam sajak itu menyebabkan H.B. Jassin memperoklamasikan lahirnya ‘Angkatan 66” dalam majalah Horison (1966), yang mengatakan bahwa khas pada hasil-hasil kesusastraan 66 ialah protes sosial dan protes politik. H.B. Jassin mengatakan bahwa pengarang yang masuk “Angkatan 66” adalah mereka yang pada tahun 1945 berumur kira-kira 6 tahun dan pada tahun 1966 berumur 25 tahun, mereka adalah Ajip, Rendra, Yusach Ananda, Bastari Asnin, Hartoyo Andangdjaja, Mansur Samin, Sarbini Afn, Goenawan Mohammad. Indonesia O’Galelano, Taufiq Ismail, Navis, Soewardi Idris, Djamil Suherman, Bokar Hulasuhut”.
Terhadap ‘Angkatan 66’ ini timbul berbagai reaksi Rachmat Djoko Pradopo di Horison (1967) menyambut ‘Angkatan 66” sastra Indonesia dengan baik, sedangkan Satyagraha Hoerip Soeprobo dan Arief Budiman lebih menyukai nama ‘Angkatan Manifes (Kebudayaan)”.
d. Beberapa Penyair
• Soelarto
Lahir tanggal 11 September 1936 di Purwarejo. Ia menulis cerpen yang penuh dengan protes dan ejekan dan hanya catatan-catatan mengenai situasi politik dan sosial. Dramanya yang berjudul Domba-Domba Revolusi mendapat reaksi dari orang-orang Lekra. Kemudian drama itu ditulis dalam bentuk novel yang berjudul Tanpa Nama oleh Nusantara tahun 1963. Balai Pustaka juga menerbitkan sramanya yang berjudul Domba-Domba Revolusi (1968).
• Taufiq Ismail
Lahir tahun 1937 di Bukit Tinggi dan dibesarkan di Pekalongan. Beliau mulai mengumumkan sajak-sajak, cerpen-cerpen dan esai-esainya sejak tahun 1954. Baru pada awal tahun 1966 ia muncul ke permukaan ketika karyanya berjudul “Tirani” berisi sajak-sajak diumumkan di tengah-tengah demonstrasi para mahasiswa dan pelajar yang menyampaikan “Tritura”. Dalam karyanya ini, beliau memakai nama samaran Nur Fadjar. Sajak-sajak itu berjumlah 18 dan dituliskan dalam waktu seminggu, antara tanggal 20 dan 28 Februari 1966 dan diterbitkan pertama kali di Majalah Gema Psycholohi. Kali ini Taufiq sudah terang-terangan mengumumkan namanya sendiri.
Antara tanggal 20 sampai 28 Februari 1966 di Jakarta terjadi peristiwa-peristiwa penting. Demonstrasi mahasiswa dan pelajar yang menuntut Tritura, uang diganti, bensin dinaikkan harganya, ongkos bis kota dinaikkan lima kali lipat. Tanggal 24 Februari kabiner Dwikora yang baru dan malah memasukkan menteri-menteri Gestapu lebih banyak lagi akan ditantik. Para mahasiswa dan pelajar bergerak. Bentrokan terjadi disertai penembakan. Arif Rahman Hakim tertembak dan wafat. Hal ini menyebabkan para mahasiswa dan pelajar lebih marah lagi. Pemakaman Arif Rahman Hakim dilakukan secara pahlawan dan orang yang mengiringi jenazahnya pe pekuburan sangat banyak.
Latar belakang itu harus dipahami agar kita dapat menikmati sajak-sajak Taufiq Ismail dalam Tirani yang menggugah rangsang emosional pembacanya secara meluas.
Peristiwa di Skeretariat negara (penembakan dan beberapa orang mahasiswa terluka) direkamkan dalam sajak ‘Sebuah Jaket Berlumur Darah’, ‘Harmoni’, ‘Jalan Segara’. Penembakan Arif Rahman Hakim direkamkan dalam sajak ‘Karangan Bunga’, Salemba’, ‘Percakapan Angkasa’, ‘Aviasi’, dan ‘Seorang Tukang Rambutan pada Isterinya’.
Sajak-sajak yang dimuat dalam “Benteng” tak jauh beda dengan yang dimuat dalam “Tirani”. Hanya dalam Benteng pikiran sudah lebih banyak bivara. Dalam sajaknya ‘Rendezvous’, Taufiq yakin bahwa tugas yang ketika itu sedang dilakukannya ialah tugas sejarah yang tak bisa dielakkan. Maka tujuan dan cita-cita yang lebih terperinci dirumuskannya dalam ‘Yang Kami Minta Hanyalah’, ‘Refleksi Seorang Pejuang Tua’, ‘Benteng’, dan ‘Nasihat-nasihat Kecil Orang tua pada Anaknya Berangkat Dewasa’.
e. Para Pengarang Wanita
Titie Said, S. Tjahjaningsih, Titis Basino, Sugiarti Siswandi, Ernisiswati Nutomo, Enny Sumargo, dan lain-lain sebagai pengarang prosa. Sedangkan sebagai penyair kita lihat munculnya Isma Sawitri, Dwiarti Mardjono, Susy Aminah Aziz, Bipsy Soerharjo, Toeti Heraty Noerhadi, Rita Oetoro dan lain-lain.
Titie Said (Ny. Titie Raja Said Sadikun) adalah seorang wanita yang banyak menulis cerpen. Ia dilahirkan di Bojonegoro, 11 Juli 1935. Titie Said pernah menjadi anggota redaksi majalah Wanita. Cerpen-cerpennya kemudian dikumpulkan dalam sebuah buku berjudul “Perjuangan dan Hati Perempuan” (1962). Sebagian besar dari cerpen-erpen yang dimuat dalam buku itu mengisahkan perjuangan dan perasaan hati perempuan. Cerpen-cerpennya “Maria” dan “Kalimutu” merupakan cerpen-cerpen terbaik yang dimuat dalam buku tersebut.
S. Tjahjaningsih muncul dengan sebuah kumpulan cerpennya “Dua Kerinduan” (1963). Kebanyakan cerpennya belum meyakinkan kita akan kematangannya. Yang dia berikan tidak lebih dari hanya harapan untuk masa depan.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Dari pembahasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa sastra tulisan di indonesia dibagi dalam beberapa periode antara lain:
I. MASA KELAHIRAN (1900-1945) yang dapat dibagi menjadi:
1. Periode awal hingga 1933;
2. Periode 1933-1942;
3. Periode 1942-45.
II. MASA PERKEMBANGAN (1945-sekarang) meliputi:
1. Periode 1945-1953;
2. Periode 1953-1961; dan
3. Periode 1961- sekarang
Dan dari tahapan periode yang sudah dilalui dapat disimpulkan adanya perbedaan antara satu periode dengan periode lainnya salahsatunya karena bangsa indonesia sedang dalam keadaan terjajah dan pada periode tersebut karya sastra yang muncul kebanyakan bertemakan perjuangan atau perlawanan terhadap penjajah
B. SARAN
Mengetahui sejarah perkembangan sastra di indonesia sangatlah perlu terutama bagi kita yang mendalami kesusastraan (jurusan bahasa indonesia khususnya) maupun masyarakat pada umumnya karena hal tersebut bisa memudahkan kita dalam meresensi setiap karya sastra karena setiap periode memiliki benang merah tersendiri yang membedakannya dari periode sastra yang lain.
DAFTAR WEBSITE
http://www.Wikipedia/org/wiki/sastra.com
http://makalahkmps.blogspot.com
0 komentar:
Posting Komentar