MAKALAH LINGUISTIK UMUM JUDUL SEMANTIK

BAB I
Pendahuluan
A.    Latar Belakang Masalah
Bahasa merupakan sistem komunikasi yang amat penting bagi manusia. Bahasa merupakan alat komunikasi manusia yang tidak terlepas dari arti atau makna pada setiap perkataan yang diucapkan. Sebagai suatu unsur yang dinamik, bahasa sentiasa dianalisis dan dikaji dengan menggunakan perbagai pendekatan untuk mengkajinya. Antara lain pendekatan yang dapat digunakan untuk mengkaji bahasa ialah pendekatan makna. Semantik merupakan salah satu bidang linguistik yang mempelajari tentang makna.
 
Kata semantik berasal dari bahasa Yunani sema yang artinya tanda atau lambang (sign). “Semantik” pertama kali digunakan oleh seorang filolog Perancis bernama Michel Breal pada tahun 1883. Kata semantik kemudian disepakati sebagai istilah yang digunakan untuk bidang linguistik yang mempelajari tentang tanda-tanda linguistik dengan hal-hal yang ditandainya. Oleh karena itu, kata semantik dapat diartikan sebagai ilmu tentang makna atau tentang arti, yaitu salah satu dari tiga tataran analisis bahasa: fonologi, gramatika, dan semantik (Chaer, 1994: 2).
Bidang studi liguistik yang objek penelitiannya makna bahasa merupkan satu tataran linguistik. Semantik dengan objeknya yaitu makna, berada di seluruh atau disemua tataran yang bangu-membangun ini : makna berada didalam tataran fonologi, morfologi dan sintaksis. Semantik bukan satu tataran dalam arti unsur pembangun satuan lain yang lebih besar, melainkan unsur yang berada pada semua tataran itu, meski sifat kehadiranyapada tiap tataran itu tidak sama.
Bahasa merupakan media komunikasi yang paling efektif yang dipergunakan oleh manusia untuk berinteraksi dengan individu lainnya. Bahasa yang digunakan dalam berinteraksi pada keseharian kita sangat bervariasi bentuknya, baik dilihat dari fungsi maupun bentuknya. Tataran penggunaan bahasa yang dipergunakan oleh masyarakat dalam berinteraksi tentunya tidak lepas dari penggunaan kata atau kalimat yang bermuara pada makna, yang merupakan ruang lingkup dari semantik.
Pada makalah ini akan dijelaskan apa sebenarnya makna sebagai objek linguistik dan bagaimana persoalannya.
B.     Rumusan Masalah
Untuk mencapai pembahasan yang diinginkan, penulis merasa perlu merumuskan masalah-masalah terlebih dahulu. Merujuk pada latar belakang, penulis merumuskan masalah pada beberapa pertanyaan berikut.
1.      Apa yang dimaksud dengan relasi makna ?
2.      Apa saja komponen pada relaksi makna ?
3.      Apa yang dimaksud dengan perubahan makna ?
4.      Apa yang dimaksud dengan medan makna ?
5.      Apa yang dimaksud dengan komponen makna ?
6.      Apa kesesuaian sintaksis dan semantik ?
                                                                                                    
C.    Tujuan
1.      Mengetahui apa itu relasi makna dan apa saja macamnya.
2.      Mengetahui arti dari perubahan makna.
3.      Mengetahui lebih jelas tentang medan makna dan komponen makna.
4.      Mengetahui kesesuaian sintaksis dan semantik.

BAB II
Pembahasan
1.             Relasi Makna
Relasi makna adalah  hubugan semantik yang terdapat antara satuan bahasa yang satu dengan satuan bahasa lainnya. Satuan bahasa disini dapat berupa kata frase maupun kalimat; dan relasi semantik itu dapat menyatakan kesamaan makna. Pertentangan makna, ketercakupan makna, kegandaan makna atau juga kelebihan makna. Pada dasarnya prinsip relasi makna ada empat jenis, yaitu :
1.         Prinsip kontiguitas yaitu prinsip yang menjelaskan bahwa beberapa kata dapat memiliki makna sama atau mirip. Prinsip ini dapat menimbulkan adanya relasi makna yang disebut sinonimi.
2.      Prinsip komplementasi yaitu prinsip yang menjelaskan bahwa makna kata yang satu berlawanan dengan makna kata yang lain. Prinsip ini dapat menimbulkan adanya relasi makna yang disebut antonimi.
3.      Prinsip overlaping yaitu prinsip yang menjelaskan bahwa satu kata memiliki makna yang berbeda atau kata-kata yang sama bunyinya tetapi mengandung makna berbeda. Prinsip ini dapat menimbulkan adanya relasi makna yang disebut homonimi dan polisemi.
4.      Prinsip inklusi yaitu prinsip yang menjelaskan bahwa makna satu kata mencakup beberapa makna kata lain. Prinsip ini dapat menimbulkan adanya relasi makna yang disebut hiponimi.
1.1            Sinonimi
Sinonim : hubungan semantik yang menyatakan adanya kesamaan makna
antara satu satuan ujaran dengan satuan ujaran lainnya. Relasi sinonim ini bersifat dua arah, maksudnya jika ujaran A bersinomnim dengan B maka B bersinonim dengan A.Contoh : benar = betul, sama dengan betul = benar.
Faktor ketidaksamaan dua buah ujaran yang bersinonim maknanya tidak akan sama persis adalah :
a. Faktor waktu, contoh : hulubalang dan komandan
b. Faktor tempat, contoh : saya dan beta
c. Faktor keformalan, contoh : uang dan duit
d. Faktor sosial, contoh : saya dan aku
e. Faktor bidang kegiatan, contoh : matahari dan surya
f. Faktor nuansa makna, contoh : melihat, melirik, menonton
1.2            Antonimi
Istilah antonimi digunakan untuk makna yang bertentangan. Tarigan (1985: 36) mengemukakan antonimi adalah kata yang mengandung makna yang berkebalikan atau berlawanan dengan kata lain. Verhaar (1983: 133) mengatakan: “Antonimi adalah ungkapan (biasanya kata, tetapi dapat juga frase atau kalimat) yang dianggap bermakna kebalikan dari ungkapan alain.” Sedangkan menurut Palmer (1976: 94) antonimi sering dianggap sebgai lawan sinonim. Secara sederhana dapat dikatakan istilah antonimi digunakan untuk menyatakan kata-kata yang berlawanan maknanya.
Crystal (dalam Ba’dulu, 2001:25) antonimi merujuk secara kolektif kepada semua jenis perlawanan semantis. Antonim adalah hubungan semantik dua buah satuan ujaran yang maknanya menyatakan kebalikan, pertentangan dengan ujaran yang lain.Contoh : hidup x mati
Jenis antonim :
a. Antonim yang bersifat mutlak, contoh : diam x bergerak
b. Antonim yang bersifat relatif / bergradasi, contoh : jauh x dekat
c. Antonim yang bersifat relasional, contoh : suami x istri
d. Antonim yang bersifat hierarkial, contoh : tamtama x bintara
Menurut Hurford dan Heasly (dalam Ba’dulu, 2001: 25) pandangan tradisional tentang antonimi yang menyatakan bahwa antonimi semata-mata merupakan perlawanan arti adalah keliru. Pandangan ini tidak memadai, karena kata-kata mungkin berlawanan dalam artinya secara berbeda-beda, dan beberapa kata tidak mempunyai perlawanan yang nyata. Contoh: hot bukan lawan dari cold dengan cara yang sama dengan borrow sebagai lawan dari lend. Demikian pula, thick bukan lawan dari thin dengan cara yang sama dengan dead sebagai lawan dari live.
Sehubungan dengan hal yang telah dikemukakan di atas, Hurford dan Heasly (dalam Ba’dulu, 2001: 25) membagi antonim ke dalam empat  jenis, yaitu:
a. Antonimi biner, adalah predikat-predikat yang muncul berpasang-pasangan, dan di antaranya tercakup semua kemungkinan yang relevan. Jika satu predikat dapat diaplikasikan, maka predikat lainnya tidak dapat diaplikasikan, demikian pula sebaliknya. Contoh: tua dan muda); panjang dan pendek. Kadang-kadang dua antonim biner yang berbeda dapat berkombinasi dalam suatu himpunan predikat untuk menghasilkan suatu kontras empat. Contoh: laki-laki (man), anak laki-laki), perempuan), dan gadis apabila dimasukkan ke dalam kotak-kotak berikut:
b. Konversi (Converses), adalah jika suatu predikat memerikan suatu hubungan yang sama apabila kedua benda atau orang itu disebutkan dalam urutan yang berlawanan, maka kedua predikat itu merupakan konversi antara satu dengan yang lainnya. Contoh: orang tua dan anak adalah konversi karena X adalah orang tua dari Y (urutan yang satu) memerikan situasi atau hubungan yang sama seperti Y adalah anak X (urutan yang berlawanan).
c. Gradabel (Gradable antonyms), adalah dua predikat merupakan antonim bertingkat jika keduanya berada pada ujung yang berlawanan dari suatu skala nilai yang berkesinambungan, yaitu suatu skala yang bervariasi menurut konteks pemakaian.
Contoh: tua dan anak-anak
Di antara tua dan anak-anak terdapat suatu skala nilai yang berkesinambungan, yang dapat diberikan nama-nama seperti remaja dan dewas. Apa yang disebut tua dalam suatu konteks, misalnya: umur orang (jompo)dalam konteks lain adalah matang ( buah-buahan) sudah dapat dipetik. Contoh lain: tinggi dan rendah; panjang dan pendek; serta pintar dan bodoh.Untuk mengkaji antonim-antonim bertingkat ini, kita dapat mengkombinasikannya dengan kata sangat , sangat banyak , bagaimana , atau berapa banyak.
d. Kontradiksi, adalah suatu proposisi merupakan suatu kontaradiktori dari preposisi lain jika tidak mungkin bagi keduanya benar pada saat yang sama dan pada peristiwa yang sama pula. Definisi ini dapat diperluas ke kalimat. Jadi, suatu kalimat yang mengungkapkan satu proposisi adalah kontradiktori dari suatu kalimat yang mengungkapkan proposisi yang lain jika tidak mungkin bagi kedua proposisi itu benar pada saat yang sama dan pada peristiwa yang sama pula. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa suatu kalimat berlawanan dengan kalimat lain jika kalimat itu menghasilkan negasi kalimat yang lainnya. Contoh: Pak Arya pengusaha kaya kontradiksi dengan Pak Udin petani miskin.
Selanjutnya, Verhaar (dalam Chaer, 1997: 26) membedakan antonim berdasarkan sistemnya, yaitu:
a. Antonim antarkalimat, contoh: Dia cantik dan Dia tidak cantik.
b. Antonim antarfrase, contoh: secara teratur dan secara tidak teratur.
c. Antonim antarkata, contoh: kuat dan lemah; kencang dan lambat.
d.Antonim antarmorfem, contoh: thankful dan thankless (Inggris), yang berantonim adalah morfem ful dan les.
1.3            Polisemi
Polisemi adalah relasi makna suatu kata yang memiliki makna lebih dari satu atau kata yang memiliki makna yang berbeda-beda tetapi masih dalam satu aluran arti. Dalam kasus polisemi ini, biasanya makna pertama ( yang didaftarkan kamus) adalah makna leksikal, makna denotatif dan makna konseptualnya. Yang lainnya adalah makna yang dikembangkan berdasarkan salah satu komponen makna yang dimiliki kata atau satuan ujaran itu. Oleh karena itu, makna pada polisemi masih berkaitan satu sama lain.
Contoh:
# Ranbut di kepala nenek sudah putih.( Kepala yang berarti bagian tubuh yang bagian atas)
# Pak Harjo adalah seorang kepala sekolah.( Kepala yang menyatakan pimpinan)
1.4            Homonimi
Homonim adalah dua kata kebetulan bentuk, ucapan, tulisannya sama tetapi beda makna.Contoh :
1. Bisa :  Bisa yang berarti racun, Bisa yang berarti dapat atau mampu.
Pada kasus homonimi ada dua istilah lain yang biasa dibicarakan, yaitu homofon dan homograf. Homofon adalah dua kata yang mempunyai kesamaan bunyi tanpa memperhatikan ejaanya, dengan makna yang berbeda.Contoh :
1.Bang : sebutan saudara laki-laki,
2. Bank : tempat penyimpanan dan pengkreditan uang
Homograf adalah dua kata yang memiliki ejaan sama, tetapi ucapan dan maknanya beda. Contoh : 1. Apel : buah, 2. Apél : rapat, pertemuan.
Ada cara untuk menentukan homonimi dengan polisemi. Patokan pertama adalah dua buah bentuk ujaran atau lebih yang kebetulan sama, dan maknanya tentu berbeda, sedangkan polisemi sebuah ujaran yag memiliki makna lebih dari satu. Makna dalam polisemi meski berbeda tetapi masih dapat dilacak secara etimologi dan semantik bahwa makna itu masih mempunyai hubungan.
1.5            Hiponimi
Hiponimi adalah sebuah bentuk ujaran yang mencakup dalam makna bentuk ujaran lain.Relasi makna bersifat searah. Contoh: antara kata jeruk dengan kata buah. Disini makna kata jeruk tercakup dalam kata buah, tetapi buah bukan hanya jeruk tapi bisa juga apel, mangga, pepaya dan jambu.
Hipernim adalah bagian dari hiponimi. Dengan kata lain jika jeruk berhiponim dengan buah, maka buah berhipernim dengan jeruk. Ada juga yang menyebut hiponom dengan superordinat. Sedangkan hubungan antar jeruk, apel, mangga, dan jenis buah lainnya adalah kohiponim.
1.6            Ambiguiti atau Ketaksaan
Ambiguitas adalah gejala yang terjadi akibat kegandaan makna akibat tafsiran gramatikal yang berbeda. Tergantung jeda dalam kalimat. Umumnya terjadi pada bahasa tulis, karena bahasa tulis unsur suprasegmentalnya tidak dapat digambarkan secara akurat. Contoh: Buku sejarah baru. Dapat diartikan (1) buku sejarah yang baru. Dapat juga bermakna (2) buku tentang sejarah baru.
Ketaksaan dapat juga terjadi bukan karena tafsiran gramatikal yang berbeda tetapi karena masalah homonimi, sedangkan konteksnya tidak jelas. Contoh: Kami bertemu paus. Dapat ditafsirkan, (1) ikan paus, dan (2) pemimpin agama katolik di Roma.
Ada juga ketaksaan yang terjadi dalam bahasa lisan, meskipun intonasinya tepat. Ketaksaan dalam bahasa lisan biasanya adalah karena ketidakcermatan dalam menyusun kontruksi beranaforis. Contoh: Ujang dan Doni bersahabat karib. Dia sangat mencintai istrinya. Dapat ditafsirkan (1) ujang mencintai istri ujang, (2) Ujang mencintai istri Doni, (3) Doni mencintai istrinya, dan (4) Doni mencintai istri Ujang. Ketaksaan ini terjadi karenakata ganti dia dan nya tidak jelas mengacu pada siapa.
1.7            Redundansi
Redundansi adalah berlebih-lebihannya penggunaan unsur segmental dalam suatu bentuk ujaran. Contoh : Hamid menggenakan topi berwarna ungu, tidak akan berbeda maknanya
Memang dalam ragam bahasa baku kita dituntut untuk menggunakan kata-kata secara efisien, sehingga kata berlebihan, sepanjang tidak mengurangi atau mengganggu makna ( lebih tepat informasi), harus dibuang, tetapi dalam analisis semantik, setiap penggunaan unsur segmental dianggap membawa makna masing-masing.
2.    Perubahan Makna
Dalam perubahan makna selalu ada hubungan (asosiasi) antara makna lama dan makna baru, tidak peduli apapun yang menyebabkan perubahan itu terjadi. Dalam beberapa hal, asosiasi bisa begitu kuat untuk mengubah makna dengan sendirinya, sebagian lagi asosiasi itu hanyalah suatu wahana untuk suatu perubahan yang ditentukan oleh sebab-sebab lain tetapi bagaimanapun suatu jenis asosiasi akan selalu mengalami proses. Dalam pengertian ini asosiasi dapat dianggap sebagai suatu syarat mutlak bagi perubahan makna ( Stephen, 2007 : 263-264 ).
Dalam sejarah ilmu semantik, teori asosiasi muncul dalam dua bentuk. Beberapa dari ahli semantik awal mengakui suatu asosiasinisme yang sederhana, mereka mencoba menjelaskan perubahan makna sebagai hasil asosiasi antara kata-kata yang diisolasikan (berdiri sendiri). Pada beberapa dekade terakhir suatu pandangan yang lebih maju berdasarkan prinsip-prinsip struktural telah meluas, perhatian telah berubah dari kata-kata tunggal menjadi satuan-satuan yang lebih luas yaitu yang disebut “medan asosiatif” yang mencakupi kata-kata tersebut.
2.1 Sebab-sebab Perubahan Makna
Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan makna suatu kata. Diantaranya adalah sebagai berikut :
1) Perkembangan dalam ilmu dan teknologi
Dalam hal ini sebuah kata yang tadinya mengandung konsep makna mengenai sesuatu yang sederhana, tetap digunakan walaupun konsep makna yang dikandung telah berubah sebagai akibat dari pandangan baru atau teori baru.
2) perkembangan sosial dan budaya
Dalam perkembangan sosial dan budaya kemasyarakatan turut memengaruhi perubahan makna. Sebagai contoh kata saudara dalam bahasa sansekerta bermakna seperut atau satu kandungan. Sekarang kata saudara walaupun masih juga digunakan dalam artian tersebut tapi juga digunakan untuk menyebut siapa saja yang dianggap sederajat atau berstatus sosial yang sama.
3) Pebedaan bidang pemakaian
Kata-kata yang menjadi kosa kata dalam bidang-bidang tertentu itu dalam kehidupan dan pemakaian sehari-hari dapat juga dipakai dalam bidang lain atau menjadi kosa kata umum. Sehingga kata-kata tersebut memiliki makna yang baru, atau makna lain disamping makna aslinya.
4) Adanya Asosiasi
Kata-kata yang digunakan diluar bidangnya seperti dibicarakan pada bagian sebelumnya masih ada hubungan atau pertautan maknanya dengan makna yang digunakan pada idang asalnya. Agak berbeda dengan perubahan makna yang terjadi sebagai akibat penggunaan dalam bidang yang lain, disini makna baru yang muncul adalah berkaitan dengan hal atau peristiwa lain yang berkenaan dengan kata tersebut.
5) Pertukaran Tanggapan Indra
Dalam penggunaan bahasa banyak terjadi kasus pertukaran tanggapan antara indera yang satu dengan indera yang lain. Rasa pedas, misalnya yang seharusnya ditanggap dengan alat indera perasa pada lidah tertukar menjadi ditanggap oleh alat indera pendengaran seperti tampak dalam ujaran kata-katanya cukup pedas.
6) Perbedaan Tanggapan
Setiap unsur leksikal atau kata sebenarnya secara sinkronis telah mempunyai makna leksikal yang tetap. Namun karena pandangan hidup dan ukuran dalam norma kehidupan di dalam masyarakat maka banyak kata yang menjadi memiliki nilai rasa yang rendah, kurang menyenangkan. Di samping itu ada juga yang menjadi memiliki nilai rasa yang tinggi atau menyenangkan. Kata-kata yang nilainya merosot menjadi rendah ini disebut dengan istilah peyoratif sedangkan yang nilainya naik menjadi tinggi disebut ameliorative.
7) Adanya Penyingkatan
Dalam bahasa Indonesia ada sejumlah kata atau ungkapan yang karena sering digunakan maka kemudian tanpa diucapkan atau dituliskan secara keseluruhan orang sudah mengerti maksudnya. Oleh karena itu kemudian banyak orang menggunakan singkatannya saja daripada menggunakan bentukya secara utuh.
8) Proses Gramatikal
Proses gramatikal seperti afiksasi, reduplikasi dan komposisi akan menyebabkan pula terjadinya perubahan makna. Tetapi dalam hal ini yang terjadi sebenarnya bukan perubahan makna sebab bentuk kata itu sudah berubah sebagai hasil proses gramatikal dan proses tersebut telah melahirkan makna-makna gramatikal.
9) Pengembangan Istilah
Salah satu upaya dalam pengembangan atau pembentukan istilah baru adalah dengan memanfaatkan kosa ata bahasa Indonesia yang ada dengan jalan member makna baru baik dengan menyempitkan, meluaskan maupun memberi makna baru. Seperti pada kata papan yang semula bermakna lempengan kayu tipis kini diangkat menjadi istilah untuk makna perumahan, kata teras yang semula bermakna inti atau saripati kayu sekarang memiliki makna yang baru yaitu utama atau pimpinan.
2.2 Jenis Perubahan Makna
Dalam bagian ini akan diuraikan beberapa jenis perubahan makna yang terjadi dalam bahasa Indonesia. Berikut pemaparannya :
1.     Perubahan Meluas
Yang dimaksud perubahan yang meluas adalah gejala yang terjadi pada sebuah kata atau leksem yang pada mulanya hanya memiliki sebuah makna tetapi kemudian karena berbagai factor menjadi memiliki makna-makna yang lain. Proses perluasan makna ini dapat terjadi dalam kurun waktu yang relative singkat tetapi dapat juga dalam kurun waktu yang lama. Dan makna-makna lain yang terjadi sebagai hasil perluasan makna itu masih berada dalam lingkup poliseminya artinya masih ada hubungannya dengan makna asalnya.
2.      Perubahan Menyempit
Perubahan menyempit merupakan suatu gejala yang terjadi pada sebuah kata yang pada mulanya mempunyai makna yang cukup luas namun kemudian berubah menjadi terbatas hanya memiliki sebuah makna saja.
3.     Perubahan Total
Yang dimaksud perubahan total yaitu suatu makna sebuah kata yang berubah total atau berubah sama sekali dari makna asalnya. Memang ada kemungkinan makna yang dimiliki sekarang masih ada sangkut pautnya dengan makna asal tapi keterkaitannya ini tampaknya sudah jauh sekali.
4.      Penghalusan (ufemia)
Penghalusan dalam perubahan makna ini maksudnya adalah suatu gejala ditampilkannya kata-kata atau bentuk-bentuk yang dianggap memiliki makna yang lebih halus atau lebih sopan daripada yang akan digantikan.
5.      Pengasaran (disfemia)
Pengasaran yang dimaksud adalah suatu usaha untuk mengganti kata yang maknanya halus atau bermakna biasa menjadi kata yang maknanya kasar. Usaha atau gejala pengasaran ini biasanya dilakukan oleh orang dalam situasi yang tidak ramah atau dalam keadaan jengkel.
3.    Medan Makna dan Komponen Makna
3.1  Medan Makna
Medan makna (semantic domain, semantik field) atau medan leksikal adalah seperangkat unsur leksikal yang maknanya saling berhubungan karena menggambarkan bagian dari bidang kebudayaan atau realitas dalam alam semesta tertentu. Misalnya, nama-nama warna, nama-nama perabotan rumah tangga, yang masing-masing merupakan medan makna.
Contoh: nama-nama warna, yang termasuk medan warna antara lain :
- merah – hijau
- coklat – kuning
- biru – abu-abu
Kata-kata yang mengelompok dalam satu medan makna, berdasarkan sifat hubungan semantisnya dapat dibedakan atas kelompok medan kolokasi dan medan set.
Ÿ Medan kolokasi menunjuk pada hubungan sintagmantik yang terdapat antara kata-kata itu.
Contoh : cabe, bawang, terasi, garam, merica. Kata-kata tersebut berada dalam satu kolokasi yaitu berkenaan dengan bumbu dapur.
Ÿ Medan set menunjuk pada hubungan paradigmatik, karena kata-kata yang berada dalam satu kelompok set itu saling bisa disubstitusikan, biasanya mempunyai kelas yang sama dan merupakan satu kesatuan.
Contoh : remaja, kanak-kanak, dewasa. Remaja merupakan perkembangan dari kanak-kanak menjadi dewasa.
Semua ini bermanfaat bagi kita dalam memahami konsep-konsep budaya yang ada dalam suatu masyarakat bahasa.
1.2      Komponen Makna
Makna yang dimiliki oleh setiap kata itu terdiri dari sejumlah komponen (yang disebut komponen makna), yang membentuk keseluruhan makna kata itu. Komponen makna ini dapat dianalisis, dibutiri, atau disebutkan satu per satu, berdasarkan “pengertian-pengertian” yang dimilikinya. Umpamanya, kata ayah memiliki komponen makna/ + manusia/, /+ dewasa/, /+ jantan/, /+ kawin/, dan /+ punya anak. Perbedaan makna antara kata ayah dan ibu hanyalah pada ciri makna atau komponen makna; ayah memiliki makna jantan, sedangkan ibu tidak memiliki kata jantan.
Komponen Makna
Ayah
Ibu
1.      Insane
2.      Dewasa
3.      Jantan
4.      kawin
+
+
+
+
+
+
_
+
Keterangan : tanda + mempunyai komponen makna tersebut, dan tanda – tidak mempunyai komponen makna tersebut.
Konsep analisis dua-dua ini (lazim disebut anlisis biner) oleh para ahli kemudian diterapkan juga untuk membedakan makna suatu kata dengan kata lain. Denga juga dapat analisis biner ini kita juga dapat menggolong-golongkan kata atau unsur leksikal sesuai dengan medan makna.
Ada tiga hal yang perlu dikemukakan sehubungan dengan analisis biner tersebut.
Pertama, ada pasangan kata yang satu diantaranya lebih bersifat netral atau umum sedangkan yang lain bersift khusus. Misalnya, pasangan kata siswa dan siswi. Kata siswa lebih bersifat umum dan netral karena dapat termasuk “pria” dan “wanita”. Sebaliknya kata siswi lebih bersift khusus karena hanya mengenai “wanit” saja.
Kedua, ada kata atau unsur  leksikal yang sukar dicari pasanganya karena memang mungkin tidak ada, tetapi ada juga yang memiliki pasangan lebih dari satu. Contoh yang sukar dicari pasanganya adalah kata-kata yang berkenaan dengan nama warna. Contoh kedua yaitu contoh yang pasanganya lebih dari satu, yaitu berdiri misalnya. Kata berdiri bukan hanya bias dipertentangkan dengan kata tidur, tetapi bisa saja dengan kata tiarap, rebah, duduk, jongkok dan berbaring.
Ketiga, kita sering kali sukar mengatur ciri-ciri semantic itu secara bertingkat, mana yang lebih bersifat umum, dan mana yang lebih bersifat khusus. Contohnya, ciri jantan dan dewasa, mana yang lebih bersifat umum antara jantan dan dewasa. Bisa jantan, tetapi bisa juga dewasa sebab tidak ada alas an bagi kita untuk menyebutkan cirri jantan lebih bersifat umum daripada dewasa, begitu juga sebaliknya, karena ciri yang satu tidak menyiratkan makna yang lain.
1.3      Kesesuaian Sintaksis dan Semantis
Diterima tidaknya suatu kalimat, bukan hanya masalah gramatikal tetapi juga masalah semnatik. Kesesuaian semantik adalah persesuaian konstituen-konstituen yang membangun kalimat itu.
Contoh ketidaksesuaian semantik : segelas kambing, karena dua kata tersebut tidak ada satupun yang cocok antara komponen makna yang satu dengan yang satunya. Yang sesuai segelas air.
Kesesuaian sintaktik adalah penempatan bersama-sama kata-kata menjadi kelompok kata atau kalimat.
Contoh ketidaksesuaian sintaktik : kambing membaca, karena kata kambing + membaca tidak merupakan satu kelompok kata. Yang sesuai saya (manusia) membaca.
Apabila kata-kata yang tidak sesuai semantik + sintaktiknya dibuat sebuah kalimat maka kalimat tersebut akan tidak berterima.
Contoh:
- Si Udin makan rumput, karena Si Udin dan rumput tidak mempunyai komponen makna yang sama, maka apabila kedua kata itu digabungkan akan menjadi tidak berterima.
Kalimat yang benar adalah : Sapi (hewan) makan rumput.

BAB II
Penutup
A.   Simpulan
Dari pembahasan di atas dapat ditarik  kesimpulan Relasi makna adalah  hubugan semantik yang terdapat antara satuan bahasa yang satu dengan satuan bahasa lainnya. Satuan bahasa disini dapat berupa kata frase maupun kalimat; dan relasi semantik itu dapat menyatakan kesamaan makna. Pertentangan makna, ketercakupan makna, kegandaan makna atau juga kelebihan makna. Dalam perubahan makna selalu ada hubungan (asosiasi) antara makna lama dan makna baru, tidak peduli apapun yang menyebabkan perubahan itu terjadi. Dalam beberapa hal, asosiasi bisa begitu kuat untuk mengubah makna dengan sendirinya, sebagian lagi asosiasi itu hanyalah suatu wahana untuk suatu perubahan yang ditentukan oleh sebab-sebab lain tetapi bagaimanapun suatu jenis asosiasi akan selalu mengalami proses.
Daftar Pustaka
Chair, abdul. 2007. Linguistik Umum . Jakarta : Rineke Cipta
(dikutip pada :Sabtu, 12 Oktober 2013 Pukul 19.00)
(dikutip pada :Sabtu, 12 Oktober 2013 Pukul 19.50)
(dikutip pada : Minggu, 13 Oktober 2013 Pukul 13.00)
(dikutip pada :Minggu, 13 Oktober 2013 Pukul 13.30)
HTTP://MAKALAHKMPS.BLOGSPOT.COM/

0 komentar:

Posting Komentar